Kamis, 26 Februari 2009

Benarkah Mati Syahid Solusi Para Pengangguran?

Beberapa waktu yang lalu salahsatu Majelis Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan dialog kedaulatan pangan. Ada 3 pembicara yang diundang yaitu Prof. Maksum , Bang Hs Diloon dan Emha Ainun Janib atau biasa disapa Cak Nun. Bukan cak nun namanya kalau obrolannya tidka membuat peserta dialog tersebut tertawa meriah.

Ada statementnya yang membuat saya heran, dia mengatakan saat Gaza di serang oleh militer Israel, tidak ada wartawan yang meminta statementnya, kalaupun ada mungkin beritanya gak akan dimuat. Berikut petikan statementnya ”kalau saya ditanya apa statement Cak Nun tentang serangan Israel ke Gaza, saya akan katakan lebih baik serang saja Indonesia, ya monggo mau Jawa Tengah, Jawa Timur atau kota manalah, pasti Israel takut karena apa? Karena di Indoesia banyak pengangguran, jadi kalau mau nyerang Indonesia banyak orang biasa yang mau berperang demi negaranya” itu katanya. disambut dengan tawa yang meriah di rungan dialog itu.

Saya yang hadir di forum itu kemudian berusaha merefleksikan apa yang dikatakan Cak Nun barusan, bener juga ya, mungkinkah ada korelasi positif yang saling menguntungkan antara semakin susahnya lahan pekerjaan dengan banyaknya orang yang ingin mati syahid?

Sejauh ini, saya belum membaca atau teparnya belum pernah mendengar ada lembaga yang meneliti tentang apa latar belakang ekonomi orang-orang kelompok agama garis keras yang melakukan bunuh diri dan mengkampanyekan untuk mati syahid. Apakah mungkin hanya sebatas doktrin agama saja atau ada motif lain? Kita juga harus kritis dalm hal ini.

Dalam benak saya benyak pertnayaan yang muncul, kenapa seorang Osama bin Laden yang katanya orang kaya itu yang mencontohkan secara langsung kepada para kadernya bagaimana melakuakn bom syahid yang benar dan tepat sasaran? (berarti dia juga ikut mati disana) Kenapa harus anak-anak muda yang usia mereka justru produktif untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan, menikah dan berkeluarga? kenapa tidak orang tua saja yang mungkin umurnya sudah kepala 5 yang masih bisa berdiri, berjalan dan berlari?

Justru akan sangat riskan jika anak-anak muda yang melakukan bom bunuh diri tersebut, regenerasi akan terganggu karena para pemudanya baik laki-laki dan perempuannya mengikuti program ”masuk syurga secara ekspres ” gaweannya Osama bin Laden ini. Itu pun kalau bener masuk syurga, la kalau gak? Bisa berabe dong jadinya, mau minta balik gak bisa je..kan nyawa sudah tercabut he he he...

ini hanya kerisauan hati saya saja melihat semakin banyak anak muda yang masuk kelompok agama garis keras, mungkinkah ada hubungan antara jumlah pengangguran yang semakin banyak dengan semakin semangatnya anak muda untuk mati syahid? Mari kita teliti ...
Read More..

Rabu, 18 Februari 2009

Guru sebagai mitra ipm di sekolah

Selama kita berjuang di Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM), banyak keluhan yang kita terima terutama dari teman-teman di ranting sekolah. Mereka merasa sendirian berjuang, kasusnya macam – macam, ada karena kepala sekolah tidak mendukunglah, guru juga tidak apresiatif terhadap gerakan ipm-lah atau ada juga yang mengeluh karena Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (dikdasmen) yang seharusnya menjadi mitra ipm agar ipm eksis di sekolah justru ikut andil menggerus pengaruh ipm di sekolah.

Saat saya masih duduk di bangku SMA, saya pernah diajarkan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia saya tentang metode penelitian. Walapun masih sangat sederhana bentuknya (tidak seserius dikuliahan dan hanya sebagai pengenalan awal saja) tapi dengan memahami metode penelitian ini kita bisa sedikit paham dan memilki cara baru untuk menyelesaikan masalah. Yang saya ingat saat SMA dulu adalah untuk meneliti sebuah masalah, kita juga harus menginventarisir stake holder (pihak-pihak terkait) yang mempengaruhi masalah kita tersebut.

Saya pernah meneliti kenapa kepemimpinan OSIS di sekolah tidak memilki pengakuan yang kuat di sekolah oleh siswa-siswanya. Secara sederhana saya memaparkan pihak-pihak yang mempengaruhi OSIS seperti kepala sekolah, pembantu kepala sekolah bagian kesiswaan, guru pembina OSIS, guru-guru di sekolah, siswa-siswa di sekolah dan wali murid, stake holder diatas saya ambil dari lingkungan warga sekolah saja. Hasil penelitian saya menyimpulkan bahwa stake holder yang ada banyak yang tidak mendukung kegiatan dan aktivitas OSIS, misalnya guru yang tidak suka dengan pengurus OSIS yang sebentar-sebentar ada rapat atau ada pengumuman di kelas sehingga jam pelajarannya terganggu, siswa lainnya yang lebih mementingkan kegiatan komunitas non-formalnya (geng-nya) dibandingkan ikut berpartisipasi di kegiatan OSIS (karena kegiatan OSIS dianggap tidak menarik dan monoton) dan masih banyak stake holder lain yang tidak mendukung kegiatan OSIS ini, sehingga menurut saya saat itu wajar saja kalau OSIS tidak diakui oleh warga sekolahnya.

Pada tahun 2007 awal bidang pengkajian ilmu pengetahuan Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PP IRM 2006-2008) yang dikomandoi oleh Irmawan David Efendi pernah mengadakan Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer) untuk guru pendamping media sekolah se-Kota Yogyakarta. Pesertanya yang mereka undang adalah guru-guru Muhammadiyah se-Kota Yogyakarta, kegiatannya diadakan di kampus SMP Muhammadiyah 7 Kota Gede Yogyakarta.

Walaupun pelatihannya sederhana tapi efek dari pelatihan ini luar biasa. Selama ini justru guru sangat jarang (atau bahkan tidak pernah) mendapatkan pelatihan untuk menambah kapasitas pribadi yang dapat menunjang aktivitasnya sebagai tenaga pendidik. Kalaupun ada model pelatihannya juga monoton dan tidak partisipatif sehingga pasca pelatihan tidak ada follow up dan capaian yang berarti.

Kegiatan TOT pendamping media di sekolah ini berhasil memfasilitasi guru Muhammadiyah untuk minimal melek media dan melek dengan aktivitas ipm di sekolahnya masing-masing. Akhirnya aktivitas ipm secara tidak langsung juga didukung penuh oleh guru-guru alumni pelatihan tersebut (coba seandianya kegiatan serupa diadakan di semua level pimpinan daerah se-indonesia, pasti hasilnya luar biasa).

Jika judul diatas bener-benar bisa terjadi insya allah gerakan IPM di sekolah bisa eksis dengan dukungan berbagai pihak. Tidak mesti dengan pelatihan untuk guru saja, kita sebagai pimpinan IPM juga bisa sekedar silaturahmi ke rumah guru – guru atau mungkin juga kepala sekolah, intinya adalah membangun komunikasi kepada semua pihak.

Semoga sukses dalam mengkomunikasikan ipm ke semua stake holder ………


Dari :
Abdul Rahman Syahputra Batubara
Sekretaris Umum PR IRM Ranting Lubuk Pakam Pekan
Periode 2001-2002
Read More..

Selasa, 17 Februari 2009

Demokrasi Amerika jauh di Belakang Indonesia

Obama sempat mencuri perhatian masyarakat dan media dunia. Seorang kulit hitam yang berusaha keras menjadi calon Presiden negara adidaya, Amerika Serikat. Obama menarik perhatian dunia hanya karena dia sedikit ”berbau” islam dan warna kulitnya yang hitam, tak ada yang lebih, kalau kesehariannya hampir sama dengan penganut Kristen taat versi demokrat yang plural dan terbuka. Semboyannya ”berubah” (change) menjadi ikon disetiap kampanyenya.

Bagi media dunia seandainya Obama benar-benar menjadi Presiden Amerika, maka dia akan tercatat sebagai presiden kulit hitam Amerika yang pertama sepanjang sejarah negara yang mengklaim sebagai penggagas model demokrasi tersebut. Amerika masih rasis, percaya atau tidak banyak orang kulit putih yang sangat benci dengan Obama, itu juga mungkin yang membuat banyak orang kulit putih yang bersimpati kepadanya sama seperti di Indonesia saat Bu Mega dizalimi Pak Harto dan SBY saat terkesan dizalimi oleh Bu Mega, yang menang adalah yang terkesan dizalimi dan Obama berhasil menarik simpati masyarakat dunia dan Amerika tentunya.

Dan Indonesia adalah salah satu negara yang terkena demam Obama, hanya karena Obama pernah tinggal beberapa tahun di Menteng Raya, Jakarta Pusat, tidak lebih dari itu.

Wajah demokrasi baru Amerika ini menarik untuk dibandingkan dengan negara Indonesia. Sebagai negara pemeluk Islam terbesar di dunia yang masih memiliki citra islam kelompok radikal (meski sebagian kecil), justru Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam demokratisasi. Amerika sebagai pengusung demokrasi (katanya, klaimnya) untuk negara-negara berkembang justru jauh kita tinggalkan dibelakang.

Bagaimana tidak? Saat orang Amerika masih sibuk dengan sikap rasisnya, Indonesia sudah jauh meninggalkan budaya primordialnya dengan mengedepankan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika”, walaupun berbeda kita tetap satu juga. Memang Indonesia pernah dijajah oleh bangsannya sendiri, yakni pada zaman orde baru, namun menurut saya justru orde baru dengan sikap kerasnya itu mampu menjadi keadaan negara dalam keadaan kondusif dan mampu memberikan efek shok teraphi kepada kelompok separatis yang ingin lepas dari bingkai NKRI, kalau keburukannya ya pasti lebih banyak lagi.

Memang secara de facto dan de jure Indonesia lahir 1945, tapi secara demokrasi Indonesia baru lahir 1998 pasca reformasi yang dikomandoi oleh salah satu putra terbaik bangsa, Amien Rais.

Oke kita kembali ke topik awal. Mungkin bagi orang Indonesia yang baru merdeka 10 tahun sejak 1998 ini presiden kulit hitam dan sedikit berbau islam di Amerika itu bukanlah hal yang bisa menghebohkan. Sekali lagi saya katakan bahwa demokrasi Amerika jauh dibelakang kita, saat Amerika baru heboh tentang presiden rasisnya kita sudah melewati 2 presiden yang tak lazim dinegara Indonesia dan dunia yang mayoritas islam ini, Gus Dur dan Bu Mega.

KH. Abdurrahman Wahid adalah presiden pertama Indonesia (mungkin sekaligus dunia) yang kondisi fisiknya tak sesempurna presiden di negara lain, apalagi Amerika dan Ibu Megawati Soekarno Putri juga menjadi presiden pertama yang berasal dari kelompok perempuan di negara yang sensitif gendernya masih jauh wajar. Amerika berbeda warna saja sudah heboh dan seolah-olah akan menjadi Super Hero penyelamat ekonomi Amerika dan dunia. Saya kira cocoklah kalau kita nobatkan Indonesia sebagai negara yang sangat demokrasi di dunia ini.

Pemilunya yang pertama 1999 dan 2004 pasca reformasi semunya berhasil dengan mulus tanpa ada konflik yang berarti. Indonesia menerapkan one man one vote, Amerika tidak, mereka menggunakan model suara diwakilkan, gak tau apakah mereka pernah menerapkan model one man one vote itu (mungkin bacaan saya belum banyak tentang sejarah pemilu di Amerika) yang jelas Indonesia yang jumlah pemeluk Islamnya terbesar dan kelompok budayanya terbanyak dari Amerika ini telah berhasil menerapkan demokrasi secara apik dan bijaksana sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

Selamat bagi Indonesia ...........
Read More..