Senin, 08 Juni 2009

“Hai Anak Muda, Andakah Dauzan Farook Berikutnya?”

“Berhentilah mencaci maki kegelapan. Lebih baik kau nyalakan secercah cahaya bagi mereka yang kegelapan. Tebarkanlah iman dengan cinta. Gubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti, setelah itu bolehlah bersiap untuk mati. Kalau kelak dating hari perjumpaan, basahkan bibirmu dengan ucapan kalimat toyibah: Laa illaha illallah………….dari Harian Jawa Pos (Radar Jogja) Edisi 7 Oktober 2007”.

Menarik bagi saya membaca artikel khusus dari Koran Jawa Pos ini. Pikiran saya mundur sejenak sekitar 4 tahun lalu saat pertama sekali mendengar nama mbah Dauzan Farook dari seorang kawan di Masjid Syuhada Yogyakarta. Begitu banyak kawan-kawan muda yang terus mencaci maki ketidakideal-an kehidupan ini (negara ini). Tapi mbah Dauzan tidak demikian, saat usia tuanya yang semakin renta justru beliau semakin bijak dalam memaknai hidup. Perjuangannya di dunia literasi sangat patut kita acungi 2 jempol (4 bahkan akalau bisa). Sejak tahun 1990 dia berjuang di dunia literasi sampai beliau wafat pada hari Sabtu, 6 Oktober 2007 pukul 05.30 di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Dengan MABULIR-nya (Majalah Buku Keliling) dia telah berhasil memberi contoh kongkrit kepada semua orang (terutama buat anak muda) supaya tidak terus mengeluh, lebih baik berbuat daripada terus mengeluh. Perpustakaanya sangat berbeda dengan perpusatkaan yang lain, dia menggunakan TRUST (kepercayaan) sebagai asas dalam sistem peminjaman buku.

Sebelum meninggal dunia, dia sempat mendapat penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional, akhir tahun 2005, atas dedikasi dan sumbangsih pemikiran atas pengembangan perpustakaan dan minat baca masyarakat.

Mbah Farook juga menjadi icon pahlawan literasi di kota Jogja bahkan nasional, mbah Farook mengajarkan kepada kita untuk terus berbuat kepada orang lain. Seolah dia ingin berkata bahwa kalau mau menyadarkan masyarakat membaca adalah solusi kongkritnya, dan membuat perpustakaan komunitas adalah salahsatu jalannya. Saya terkadang malu juga dengan aksi jalanan yang dibuat oleh Mahasiswa akhir- akhir ini, sudah tak jelas apa yang diperjuangkan oleh mereka, lebih sering aksi jalanan mereka menghadirkan masalah baru yang merugikan masyrakarat, seperti macet, pecahnya kaca mobil, rasa was - was penumpang angkot dan masih banyak lagi yang dirugikan oleh aksi mereka ini.

Apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh mahasiswa ini, belajarlah kalian pada mbah Fauzan Farook wahai anak muda……….Indonesia butuh aktivis kongkrit bukan aktivis tanggung, aktivis yang benar – benar berjuang untuk rakyat Indonesia
Read More..

Rabu, 25 Maret 2009

Hiruk Pikuk Pemilu 2009

Banyak yang berkomentar negatif dengan suasana pemilu 2009 ini. Ada yang berkomentar dari politik uang, politik sembako, jumlah partai yang banyak dan pastinya jumlah calon anggota legislatifnya juga berbading lurus dengan jumlah partai yang lebih dari 40 partai.

Pemilihan umum adalah pestanya rakyat, di sini mereka benar-benar jadi raja, rakyat apa saja dan profesi apa saja. Mau abang becak, pengamen, ibu rumah tangga, penjaja seks komersil dan masih banyak lagi yang kesemuanya ikut berpesta dalam gawean besar bangsa Indonesia ini. Boleh – boleh saja para politisi saling sikut di media dan panggung ”sandiwara” saat kampanye terbuka. Sah-sah saja kalau kaum intelektual mengatakan ini pemilu paling boros dan paling ribet dengan hitung-hitungan mereka yang tentuya menurut rakyat tadi njlimet juga. Tapi yang jelas secara pragmatis rakyat tetap merasa senang dengan gawean besar ini.

Rakyat tidak berpikir jauh ke depan 5-10 tahun, mereka biasa berpikir dengan ”cari hari ini untuk makan 2-3 hari ke depan” atau mungkin lebih parah adalah ”cari hari ini untuk makan hari ini”. Mereka senang pak SBY membagikan BLT yang kita juga tak tau BLT ini memang agenda pemerintah atau bukan, mereka senang disuguhkan dengan tontonan gratis oleh partai politik yang mengundang artis-artis ibu kota dan mereka juga senang kalau ada partai yang datang door to door untuk membagikan kaos partai, ”lumayan untuk baju tidur atau baju rumahan,” katanya seorang ibu rumah tangga saat ditanya wartawan, ibu tersebut punya 10 kaos partai yang warnanya berbeda-beda. Belum lagi kalau Pak RT dan Pak RW yang datang bak malaikat penolong dan mengajak mereka untuk kampanye terbuka dengan iming-iming uang tunai 30 ribu plus makan siang dan kaos partai.

Terus apa salah kalau rakyat menerima uang tunai untuk mencontreng partai atau caleg tertentu? Kalau menurut saya sih tidak juga, kenyataan dilapangan adalah orang-orang pinter nan idealis (sampai saat ini) belum mampu mewarnai istana dan senayan. Bukan pesimis dengan perubahan, sekali lagi bahwa rakyat saat ini butuh makan dan uang tunai bukan janji-janji akan masuk syurga, dapat pekerjaan apalagi negara makmur sentosa.

Berkah Pemilu dan Pilkada

Disadari atau tidak, pilkada dan pemilu 2009 sangat banyak manfaatnya. Penulis mengamati bahwa krisis global tidak bisa menghempaskan kapal besar Indonesia untuk tenggelam dalam krisis moneter -seperti pada tahun 1997-1998-. Gara-gara politisi kitalah ekonomi bangsa ini tak kena efek samping dari goyangnya ekonomi dunia. Banyak pilkada saja sudah memberikan efek yang positif bagi pertumbuhan ekonomi kita. Bayangkan dalam 1 pilkada uang beredar atau jumlah konsumsi senilai 1 M, sudah berapa banyak pilkada yang ada di Indonesia sampai saat ini dan nominal 1 M tadi saja masih belum mendekati uang yang beredar dalam kampanye calon bupati atau walikota di sebuah kabupaten/ kota. Hitung saja dari 2007 –awal 2009 berapa pilkada bupati dan gubernur yang terselenggara?

Daya beli masyarakat meningkat tajam sejak pilkada langsung dimulai di Indonesia minimal dibeberapa sektor seperti percetakan, perusahaan advertising, iklan di media cetak dan elektronik, perusahaan konveksi (kaos dan bendera partai), perusahaan transportasi dan belum lagi uang yang bersinggungan langsung dengan rakyat kecil seperti sumbangan pembangunan rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dan panti asuhan dari calon bupati/ walikota dan gubernur, fee dari saksi di setiap TPS (tempat pemungutan suara) dan tim kampanye. Jadi, sangat wajar kalau kita juga harus berterima kasih kepada politisi dan calon bupati/ walikota dan gubernur yang ikut berkontribusi langsung dalam menstabilkan pertumbuhan ekonomi negara kita.

Terus apa rakyat kita untung? Ya, tentunya jawaban ini hanya bisa dijawab langsung oleh rakyat sendiri. Tapi, kenyataan dilapangan pasca pilkada langsung justru banyak bupati/ walikota dan gubernur terpilih yang benar-benar peduli kepada rakyatnya. Majalah Tempo pernah memuat 10 bupati dan walikota terbaik versi tempo yang tentunya di nilai dari realisasi program kepala daerah yang pro-rakyat. Mungkin ini bisa menjawab pertanyaan diatas, apakah rakyat untung pasca pilkada?

Pemilu 2009 ini juga sama bahkan lebih dahsyat lagi, perusahaan yang bersinggungan langsung dengan fasilitas kampanye seperti hotel, perusahaan transpotasi dari becak sampai pesawat, perusahaan konveksi (kaos dan bendera partai), advertising, buruh pasang bendera, perusahaan percetakan dan masih banyak perusahaan lainnya yang ikut kebanjiran pesanan dan order. Belum lagi bisnis pengerahan massa. Di sini daya beli masyarakat meningkat tajam, tentu saja rakyat juga yang diuntungkan, pedagang kecil juga dapat berkahnya saat kampanye terbuka dilapangan atau tertutup di GOR atau stadion seperti penjual minuman, mainan anak-anak, rujak, rokok, permen dan masih banyak lagi.

Akhirnya kita sebagai anak bangsa (meminjam istilah pak Amin Rais) harus bisa melihat sesuatu itu dari banyak sudut pandang, jangan terjebak pada satu atau dua sudut pandang saja. Komentarnya orang – orang intelektual di media massa dan elektronik tak akan mampu menahan krisis keuangan global.

Mari belajar bersama melihat sesuatu dari banyak sudut pandang....


Putra Batubara
Mahasiswa Akhir Jurusan Komunikasi
Read More..

Belajar Membuat Komunitas

Komunitas sebenarnya hampir sama dengan organisasi yaitu sekumpulan orang yang memiliki satu tujuan tertentu. Tapi komunitas jauh lebih simpel atau sederhana dan keanggotaanya bersifat sangat terbuka. Biasanya komunitas hadir dari kebiasaan yang sama oleh beberapa orang yang iseng-iseng ngumpul. Hanya bedanya dengan organisasi pada umunya komunitas lebih enjoy (nyantai) karena model kepemimpinannya lebih pastisipatif

Untuk memulai sebuah komunitas sederhana saja sebenarnya, tidak sesulit organisasi yang harus punya kantor, kop surat dan macam-macamnya-lah. Ada contoh beberapa komunitas yang kemudian menjadi besar dan eksis sampai tingkat nasional seperti komuniat nge-blog, komunitas bike to work, komunitas sepeda onthel dan masih banyak lagi

Bagaimana memulai komunitas?

Pertama, untuk awal membuat komunitas kita petakan dulu, komunitas kita ini, seperti kesamaan apa yang akan diambil sehingga jelas “kelamin” komunitas yang akan kita bentuk, misalnya kamunitas pembaca majalah tertentu, atau komunitas film indie. Kedua, setelah jelas apa komunitas yang akan kita bangun, selajutnya kita tentukan tujuan akhir dari komunitas kita, hanya sekedar kumpul-kumpul saja atau ada ikatan khusus yang nantinya bisa menjadi modal sosial untuk masing – masing anggota komunitas

Ketiga, tentukan model kepemimpinan komunitas dan aturan main pergantiannya dengan prinsip partisipatif. Keempat, jalankan beberapa event yang tidak perlu mengeluarkan budget yang besar yang bisa menunjukkan eksistensi dan kontribusi dari komunitas itu terhadap masyarakat di sekitarnya, Kelima, tularkan informasi komunitas ini melalui media seperti blog, friendster, facebook dan pers release ke media lokal dan nasional moga aja ada yang tertarik dan membuat komunitas yang sama diseluruh antero jagad raya atau minimal komunitas kita menginspirasi banyak orang untuk berbuat yang sama dalam bentuk lain, Keenam, ya sudah mulai saja membuat komunitasnya karena teori itu 1% dan praktek itu 99% tingkat keberhasilannya.
Selamat mencoba untuk semua …………


Putra Batubara,
Pernah aktif juga dalam komunitas anak-anak pecinta alam
Di Lubukpakam
Read More..

Jumat, 20 Maret 2009

Kekerasan Pelajar di Sekolah Salah Siapa?

Akhir-akhir ini kita disuguhkan tontonan menarik tentang pelajar di sekolah yang melakukan tindak kekerasan baik putra ataupun putri. Kemajuan teknologi menjadikan kasus perkasus bisa langsung di akses oleh media nasional seperti televisi dan adegan tersebut ditayangkan secara langsung. Yang menartik disini adalah kasus kekerasan ini biasa terungkap setelah tersiar kabar di media massa dan pihak sekolah baru “mengambil sikap” setelah kasus itu disiarkan oleh media massa.

Pertanyaanya kemudian, kemana fungsi dan tugas sekolah yang mendidik peserta didiknya itu? Kenapa hal-hal yang sebesar ini bisa tidak diketahui oleh pihak sekolah? Atau jangan – jangan pihak sekolah juga sudah tahu dan berusah untuk menutup-nutupinya. Terus kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, guru agama, wali siswanya atau mungkin OSIS dan Rohisnya (karena kejadian ini banyak terjadi di sekolah negeri). Biasanya perdebatan akan terjadi disekitar nama-nama diatas dan mereka akan saling menyalahkan.

Idealnya pendidikan itu dilaksanakan bukan karena paksaan, harus tulus dan ikhlas dari kemauan peserta didik tersebut. Beberapa contoh kekerasan yang ada di sekolah keinginan orang tua siswa agar anaknya sekolah di sekolah A karena terkesan elit dan favorit padahal anaknya tidak mau dan tidak berminat, atau guru dan kepala sekolah yang mengeluarkan kebijakan membuat pelajaran tambahan di sekolah plus kegiatan ekstrakulikuler yang bersifat wajib agar siswa di sekolahnya bisa lulus dengan predikat terbaik, menteri pendidikan nasional juga sama yaitu membuat kebijakan ujian secara nasional dan kelulusan di Ujian Nasional adalah harga mati tanpa melihat kearifan lokal yang ada, dan masih banyak lagi contoh kekerasan yang terjadi di sekolah (kekersan melalui kebijakan dan kekerasan pemaksaan suatu kehendak).

Menurut saya kekerasan yang terjadi sesama siswa di sekolah adalah akibat dari ”fenomena gunung es” atau puncak permsalahan kekerasan kebijakan di sekolah yang semuanya bermuara ke siswa. Jadi, sebenarnya mereka semua adalah korban bukan pelaku kekerasan.

Bagaimana Mental Kekerasan di Sekolah di Mulai?

1. Sebelum masuk sekolah biasanya siswa sudah ditanamkan seabrek peraturan sekolah yang harus ditaatinya, tidak boleh bertanya kenapa peraturan ini dibuat, siapa yang buat dan untuk siapa aja peraturan ini dibuat, siswa hanya boleh membaca peraturan dan menjalankannya misal peraturan yang mewajibkan siswa memakai dasi, dan topi lengkap saat upacara bendera hari senin, atau rambut siswa putra yang panjangnya tidak boleh lebih dari 10 cm, tidak boleh terlambat (apalagi bayar uang SPP dan buku, ini lebih lagi sangat tidak boleh terlambat)

2. Pertama sekali masuk ke sekolah, kakak-kakak yang ada di OSIS mengadakan kegiatan dengan nama masa orientasi siswa atau biasa disebut MOS. Disini kekerasan kedua terjadi, secara fisik dan verbal, anak baru tadi disuruh sesuatu yang tidak jelas maksud dan tujuannya, kadang disuruh melakukan hal-hal yang tidak lumrah, di sini mulai tertanam lagi di alam bawah sadar siswa baru tersebut bahwa hal ini sudah biasa karena selain dibiarkan oleh sekolah kegiatan ini terjadi secara turun temurun.

3. Kemudian setelah MOS selesai siswa masuk ke sekolah dan menjadi warga sekolah, saat terlambat masuk di sekolah dia harus melewati banyak pos dari mulai satpam sampai guru BK, di sini peraturan sekolah kembali dibacaan kepadanya sementara pihak-pihak yang mendakwa siswa tersebut tidak mau tau apa yang terjadi sehingga siswa itu terlambat. Di sini dia belajar bahwa alasan apapun tidak akan diterima, padahal pada minggu berikutnya giliran guru yang datang terlambat, dan guru tersebut diperbolehkan masuk ke kelas tanpa melewati pos-pos yang ada.

4. Kemudian dia masuk ke kelas, di kelas dia mendengarkan secara baik apa saja yang menjadi peraturan di internal kelas, dari mulai kebersihan yang sampai harus mengeluarkan uang sakunya karena kelasnya harus indah dengan tambahan gorden dan beberapa perangkat kelas seperti sapu, tong sampah, penghapus, taplak meja dan kalau perlu ditambah sedikit bunga pot di dalam ruangan. Di sini dia belajar malu kalau tidak ikut patungan dengan siswa sekelasnya, mungkin saja sisa uangnya saat itu tinggal untuk ongkos pulang.

5. 3 hari kemudian saat dikelasnya sedang belajar asyik dengan seorang guru, datanglah seorang guru perempuan yang sangat ramah, dia membawa banyak buku yang di ikat dengan tali rapia, bersamanya ada bapak-bapak yang berpakaian rapi sedang memegang buku tulis tebal, sepertinya masih baru buku itu karena covernya yang masih mengkilap. Ibu guru yang ternyata adalah petugas koperasi itu mengatakan bahwa untuk menunjang pembelajaran siswa dibantu dengan buku pelajaran dengan merk tertentu dan harganya sangat miring plus dengan cicilan yang sangat gampang (bisa dicicill selama 1 tahun sampai sebelum kenaikan kelas). Kemudian dia bertanya bisa tidak bu kalau belinya diluar atau memakai buku kakak kelas? Sang guru dengan pedenya menjawab silahkan saja karena buku ini baru saja terbit dan belum ada di pasaran edisinya sangat terbatas, kemudian guru yang mengajar dikelas tadi menimpali bahwa minggu depan ada PR di halaman sekian dibuku baru yang kalain terima. Terpojokkanlah si siswa tadi karena mau tidak mau harus membeli buku itu karena memang sangat perlu. Disini kekerasan kehendak, padahal siswa baru itu tahu kalau bapak ibunya tidak akan mampu membayar uang buku tersebut secara tunai, disini dia mulai setres padahal dia baru masuk ke sekolah itu dan baru mulai belajar selama 3 hari. Sekumpulan tanda tanya sudah banyak di kepalanya.

6. Masih banyak lagi kekerasan yang di lakukan senior seperti dalam ektrakulikuler tertentu yang punya adat terntu juga dan biasanya mereka menggunakan kekerasan fisik dan mental, alsananya sih agar mental anak baru tersebut kuat, aneh juga ya, seperti militer gitu deh.

7. Masih banyak kekerasan lainnya di kelas seperti guru yang mengatakan bahwa dirinya bodoh lah karena pelajaran yang di terangkannya tidak dapat langsung diserap dan masih banyak conoth lagi.

8. Akhirnya untuk menumpahkan segala kekesalannya dia membuat komunitas anak-anak setres yang semua kegiatannya untuk menghilangkan setres (tentunya menurut mereka sendiri) sampai akhirnya kekerasan antar kelompok di internal sekolah sampai dengan kekerasan antar sekolah dengan tawuran.

Solusinya?

Kekerasan tidak cocok di balas dengan kekerasan pula (malah akan memperparah), disinilah IPM berperan untuk melakukan penyadaran kepada siswa tersebut untuk kritis melihat ketidakadilan yang ada disekitarnya (melihat ketidakberesan disekitarnya) setelah disadarkan kemudian mereka dijadikan ”relawan” untuk membela teman sebayanya. Sampai akhirnya semua temannya sadar dan seluruh warga sekolah sadar dengan semua kelakuan mereka yang tidak adil dan suka melakukan kekerasan baik secara langsung maupuin tidak langsung.

IPM sudah saatnya masuk ke sekolah negeri.........

Putra Batubara,
Mantan kandidat ketua OSIS yang mengundurkan diri karena lebih memilih menjadi Ketua Rohis Ibnu Sina SMA Negeri 1 Lubukpakam
Deli Serdang, Sumatera Utara
Read More..

Selasa, 10 Maret 2009

Nikmati Indahnya Hari Tanpa Tambatan Hati

Hari-hariku lewati hanya sendiri tanpa kekasih
Tapi tetap ku nikmati indahnya hari tanpa tambatan hati

Aku ingin menjadi setitik awan kecil di langit
Bersama mentari
Walaupun ku sendiri tapi aku masih ada
Masih ada cinta di hati

Kadang aku merindukan
Merindukan sentuhan
Sentuhan wanita

Ingin ku curahkan semua
Semua hasrat di jiwa
Yang telah lama ku pendam

Hari-hariku lewati hanya sendiri tanpa kekasih
Oh oh.. Walaupun kusendiri tapi ku masih bisa bahagia


Pastilah para pembaca sudah tahu siapa pelantun lirik lagu diatas. Saat ini memang suara hati ku sedang terwakili oleh lagu ini. Aku pernah menulis dengan tema besar bahwa pasangan hidup itu bagi ku saat in adalah kebutuhan yang penting tapi "belum" mendesak. Sampai sekarang aku masih memegang kata demi kata yang sudah ku tulis itu. Tapi, seperti kata lagu diatas kadang-kadang rasanya ingin juganya aku punya dambaan hati. Rasanya asyik juga bisa berbagi, ngobrol ngalor ngidul kesana kemari atau sekedar tanya kabar, lagi apa disana, sudah makan belum, atau mungkin nanya IP nya gimana, dan kapan pendadarannya.

Dahulu sekali sekitar kelas 1 SMA (sekitar tahun 2001) Aku punya pengalaman mengejar seorang dambaan hati. Tentunya yang aku kejar ini bukan pelajar putri sembarangan. Anaknya super cerdas, pintar juga berteman dan bisa diajak ngobrol dengan tema apa saja. Kelas 1 aku gagal mendapatkanya. Naiklah aku ke kelas 2, sama juga hasilnya nihil. Tapi memang sudah mulai ada pencerahan dengan model pendekatan yang ku lakukan, massif dan progresif memang pergerakan ku he he he ...

Pernah juga aku ajak dia untuk ikut bareng kawan-kawan ku naik gunung, kalau tak salah saat itu dalam suasana akan tahun baru. Maklumlah komunitas ku itu anaknya aneh-aneh, mereka bisa jadi apa saja, organisasi oke, remaja masjid oke, event organizer oke, main musik apalagi oek banget, naik gunung juga oke, keliling jadi pemantau pemilu juga oke, ah pokoknya mantaplah kawan-kawan ku itu.

Nah, barulah dikelas selanjutnya aku diterima, tapi bukan tanpa syarat lho. Ah lucu juga aku kalau ingat masa-masa itu semua. Saat dimana aku sering membantunya mengerjakan apa yang aku bisa (selain pelajaran ya, karena dia beda jurusan dengan ku). Saat dimana aku juga masih sering curicuri waktu untuk ketemu walau Cuma sebentar di musolla sekolah saat solat dhuha (terus terang ya, orientasi ku saat itu bukan mau solat dhuha, tapi pengen ketemu dia aja, weleh weleh ..). Atau ada juga saat aku membernikan diri untuk mengantarnya pulang dengan kenderaan ayahku ( padahal izinnya kemana, perginya entah ke mana he he he) maklumlah namanya juga lagi kasmaran.

Tulisan ini hanya sepenggal kisah ku dan dia, sekedar untuk mengobati kerinduan hati tentang masa-masa lalu itu. Seperti lirik diatas yang mengatakan bahwa terkadang kita sebagai manusia biasa tak bisah juga melepaskan kodrat kita sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan. Semoga aku bisa konsisten dengan tulisan ku diawal blog ini, bahwa pasangan hidup adalah kebutuhan penting tetapi belum mendesak. Kalau aku sedang ingin merasakan suasana hati saat dimana aku masih memilki pasangan untuk berbagi dan segala macamnya, musik dan malamlah yang akan menemaniku....

Kota Pelajar, Pukul 01.33/ 11 Maret 2009
www.putralubukpakam.blogspot.com
www.putrabatubara.multiply.com

Untuk Shinnohikari.........
Read More..

Selasa, 03 Maret 2009

Melihat Masalah Masyarakat Secara Utuh

Ada percakapan disuatu sore di sudut ibu kota sebuah propinsi, “Gimanalah bang, bukannya kami tak mau meningggalkan pekerjaan kami ini, tapi besok anak istri kami mau makan apa bang? “ kemudian si penjual itu kembali memutar vcd musik yang lagunya sedang populer, dia beres-beres sedikit untuk memperindah dan menata vcd dan dvd nya agar terlihat menarik.

Ada juga pembicaraan dua orang yang berlainan jenis, di sebuah ruangan berukuran 6x4 meter yang sepertinya lampunya sengaja dibuat remang-remang. “ Mbk kenapa sih kerjanya “beginian”? apa gak takut dosa dan cemoohan masyarakat?”, kata di pria. “Yahhh, mau gimana lagi ya mas, saya sudah berusaha kesana kemari cari kerjaan tapi gak ada yang mau nerima saya yang lulusan SD ini, mana suami saya sudah entah kemana, terus anak saya mau disekolahkan pakai biayanya dari mana mas? Dan makannya kami berdua juga siapa yang mau nanggung?”

Itulah sekelumit permasalahan yang ada nyat adanya dimasyarakat kita, dan kita jugua sering berinteraksi dengan mereka, para pedagang vcd dan dvd bajakan, para wanita penjaja seks komersil, dan para penjual jam tangan bajakan, para penjual kaos dagadu palsu dan banyak kelompok sosial yang strata sosialnya jauh dibawah kelompok profesi lainnya.

Pemerintah dalam menyikapi kelompok masyarakat seperti ini sangat kaku sekali, biasanya mengedepankan pendekatan hukum saja. Bukan hanya sampai disitu, sering juga pemerintah ikut-ikutan memperparah keadaan dengan membuat perda – perda khusus yang tidak konstruktif/ membangun. Belum lagi, ditambah pemuka agama yang terkadang juga ikut mensukseskan program pemerintah ini dengan menyatakan bahwa “ini semua adalah cobaan, kita harus sabar menghadapi semua masalah ini”.

Masyarakat saat ini tidak butuh pendekatan agama yang bersifat menenangkan, masyarakat butuh aksi nyata dari para juru dakwah. Tak banyak yang mengeluh begini, “lapar kok disuruh ngaji dan solat?”. “Lapar itu dikasi makan om bukan disuruh solat”. Biasanya mereka akan berkata kami mau kerja apa saja yang penting bisa menghidupi kehidupan kami.

Pendekatan Partisipatif

Ada satu model pendekatan dalam motodologi penelitian yang pernah saya pelajari dan sekarang sedang dikembangkan oleh beberapa NGO dan kelompok social masyarakat. Namanya pendekatan partisipatif, biasa digunakan untuk mancari data dalam sebuh penelitian. Seperti observasi tapi di sini peneliti ikut terlibat dan berbaur dalam masyarakat yang akan diteliti dan objek yang diteliti juga tidak merasa diteliti. Secara sederhana peneliti ikut berbaur dengan objek penelitian tersebut.

Banyak kelompok masyarakat yang sudah mengembangkan model pendekatan partisipatifnya dalam mengatasi masalah sosial, tak mudah memang. Waktu yang digunakan tak singkat, tapi dengan pendekatan ini justru kelompok sosial yang ingin kita rubah bisa menjadi perpanjangan tangan untuk rekan-rekannya, seperti jejaring di MLM –lah. Disini justru masyarakat dilibatkan secara langsung, mereka tidak diarahkan, tapi fasilitator/ pendamping tersebut hanya bertugas menyadarkan masyarakat. Justru disini, fasilitator juga ikut belajar bagaimana masyarakat ini menyelesaikan masalahnya masing-masing (prinsipnya tak ada yang jadi guru kehidupan, semuanya sama-sama belajar).

Dan menurut saya, model pendekatan seperti inilah yang perlu dilakukan pemerintah dan pemuka agama untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada dimasyarakat luas, jangan lagi kita perlakaukan saudara kita dengan kasar dan tidak humanis. Saat ini memang sudah ada PNPM Mandiri program pemerintah, tapi realitas dimayarakat kita tidak berjalan dengan baik, dana yang ada malah digunakan untuk membangun infrastruktur (seperti pos ronda, tempat pembuangan sampah dan membangun parit) yang menurut saya sangat kurang efektif untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada.
Pemerintah dan para juru dakwah perlu belajar banyak dari kelompok masyarakat yang sudah melakukan model pendekatan ini. Dan organisasi pelajar seperti Ikatan Pelajar Muhamamdiyah sudah melakukannya sejak tahun 2000 awal, sekarang IPM sudah mengembangkan model partisipatif versi IPM, yang lain kapan?

mari belajar bersama masyarakat akar rumput
Read More..

Kamis, 26 Februari 2009

Benarkah Mati Syahid Solusi Para Pengangguran?

Beberapa waktu yang lalu salahsatu Majelis Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan dialog kedaulatan pangan. Ada 3 pembicara yang diundang yaitu Prof. Maksum , Bang Hs Diloon dan Emha Ainun Janib atau biasa disapa Cak Nun. Bukan cak nun namanya kalau obrolannya tidka membuat peserta dialog tersebut tertawa meriah.

Ada statementnya yang membuat saya heran, dia mengatakan saat Gaza di serang oleh militer Israel, tidak ada wartawan yang meminta statementnya, kalaupun ada mungkin beritanya gak akan dimuat. Berikut petikan statementnya ”kalau saya ditanya apa statement Cak Nun tentang serangan Israel ke Gaza, saya akan katakan lebih baik serang saja Indonesia, ya monggo mau Jawa Tengah, Jawa Timur atau kota manalah, pasti Israel takut karena apa? Karena di Indoesia banyak pengangguran, jadi kalau mau nyerang Indonesia banyak orang biasa yang mau berperang demi negaranya” itu katanya. disambut dengan tawa yang meriah di rungan dialog itu.

Saya yang hadir di forum itu kemudian berusaha merefleksikan apa yang dikatakan Cak Nun barusan, bener juga ya, mungkinkah ada korelasi positif yang saling menguntungkan antara semakin susahnya lahan pekerjaan dengan banyaknya orang yang ingin mati syahid?

Sejauh ini, saya belum membaca atau teparnya belum pernah mendengar ada lembaga yang meneliti tentang apa latar belakang ekonomi orang-orang kelompok agama garis keras yang melakukan bunuh diri dan mengkampanyekan untuk mati syahid. Apakah mungkin hanya sebatas doktrin agama saja atau ada motif lain? Kita juga harus kritis dalm hal ini.

Dalam benak saya benyak pertnayaan yang muncul, kenapa seorang Osama bin Laden yang katanya orang kaya itu yang mencontohkan secara langsung kepada para kadernya bagaimana melakuakn bom syahid yang benar dan tepat sasaran? (berarti dia juga ikut mati disana) Kenapa harus anak-anak muda yang usia mereka justru produktif untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan, menikah dan berkeluarga? kenapa tidak orang tua saja yang mungkin umurnya sudah kepala 5 yang masih bisa berdiri, berjalan dan berlari?

Justru akan sangat riskan jika anak-anak muda yang melakukan bom bunuh diri tersebut, regenerasi akan terganggu karena para pemudanya baik laki-laki dan perempuannya mengikuti program ”masuk syurga secara ekspres ” gaweannya Osama bin Laden ini. Itu pun kalau bener masuk syurga, la kalau gak? Bisa berabe dong jadinya, mau minta balik gak bisa je..kan nyawa sudah tercabut he he he...

ini hanya kerisauan hati saya saja melihat semakin banyak anak muda yang masuk kelompok agama garis keras, mungkinkah ada hubungan antara jumlah pengangguran yang semakin banyak dengan semakin semangatnya anak muda untuk mati syahid? Mari kita teliti ...
Read More..

Rabu, 18 Februari 2009

Guru sebagai mitra ipm di sekolah

Selama kita berjuang di Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM), banyak keluhan yang kita terima terutama dari teman-teman di ranting sekolah. Mereka merasa sendirian berjuang, kasusnya macam – macam, ada karena kepala sekolah tidak mendukunglah, guru juga tidak apresiatif terhadap gerakan ipm-lah atau ada juga yang mengeluh karena Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (dikdasmen) yang seharusnya menjadi mitra ipm agar ipm eksis di sekolah justru ikut andil menggerus pengaruh ipm di sekolah.

Saat saya masih duduk di bangku SMA, saya pernah diajarkan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia saya tentang metode penelitian. Walapun masih sangat sederhana bentuknya (tidak seserius dikuliahan dan hanya sebagai pengenalan awal saja) tapi dengan memahami metode penelitian ini kita bisa sedikit paham dan memilki cara baru untuk menyelesaikan masalah. Yang saya ingat saat SMA dulu adalah untuk meneliti sebuah masalah, kita juga harus menginventarisir stake holder (pihak-pihak terkait) yang mempengaruhi masalah kita tersebut.

Saya pernah meneliti kenapa kepemimpinan OSIS di sekolah tidak memilki pengakuan yang kuat di sekolah oleh siswa-siswanya. Secara sederhana saya memaparkan pihak-pihak yang mempengaruhi OSIS seperti kepala sekolah, pembantu kepala sekolah bagian kesiswaan, guru pembina OSIS, guru-guru di sekolah, siswa-siswa di sekolah dan wali murid, stake holder diatas saya ambil dari lingkungan warga sekolah saja. Hasil penelitian saya menyimpulkan bahwa stake holder yang ada banyak yang tidak mendukung kegiatan dan aktivitas OSIS, misalnya guru yang tidak suka dengan pengurus OSIS yang sebentar-sebentar ada rapat atau ada pengumuman di kelas sehingga jam pelajarannya terganggu, siswa lainnya yang lebih mementingkan kegiatan komunitas non-formalnya (geng-nya) dibandingkan ikut berpartisipasi di kegiatan OSIS (karena kegiatan OSIS dianggap tidak menarik dan monoton) dan masih banyak stake holder lain yang tidak mendukung kegiatan OSIS ini, sehingga menurut saya saat itu wajar saja kalau OSIS tidak diakui oleh warga sekolahnya.

Pada tahun 2007 awal bidang pengkajian ilmu pengetahuan Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PP IRM 2006-2008) yang dikomandoi oleh Irmawan David Efendi pernah mengadakan Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer) untuk guru pendamping media sekolah se-Kota Yogyakarta. Pesertanya yang mereka undang adalah guru-guru Muhammadiyah se-Kota Yogyakarta, kegiatannya diadakan di kampus SMP Muhammadiyah 7 Kota Gede Yogyakarta.

Walaupun pelatihannya sederhana tapi efek dari pelatihan ini luar biasa. Selama ini justru guru sangat jarang (atau bahkan tidak pernah) mendapatkan pelatihan untuk menambah kapasitas pribadi yang dapat menunjang aktivitasnya sebagai tenaga pendidik. Kalaupun ada model pelatihannya juga monoton dan tidak partisipatif sehingga pasca pelatihan tidak ada follow up dan capaian yang berarti.

Kegiatan TOT pendamping media di sekolah ini berhasil memfasilitasi guru Muhammadiyah untuk minimal melek media dan melek dengan aktivitas ipm di sekolahnya masing-masing. Akhirnya aktivitas ipm secara tidak langsung juga didukung penuh oleh guru-guru alumni pelatihan tersebut (coba seandianya kegiatan serupa diadakan di semua level pimpinan daerah se-indonesia, pasti hasilnya luar biasa).

Jika judul diatas bener-benar bisa terjadi insya allah gerakan IPM di sekolah bisa eksis dengan dukungan berbagai pihak. Tidak mesti dengan pelatihan untuk guru saja, kita sebagai pimpinan IPM juga bisa sekedar silaturahmi ke rumah guru – guru atau mungkin juga kepala sekolah, intinya adalah membangun komunikasi kepada semua pihak.

Semoga sukses dalam mengkomunikasikan ipm ke semua stake holder ………


Dari :
Abdul Rahman Syahputra Batubara
Sekretaris Umum PR IRM Ranting Lubuk Pakam Pekan
Periode 2001-2002
Read More..

Selasa, 17 Februari 2009

Demokrasi Amerika jauh di Belakang Indonesia

Obama sempat mencuri perhatian masyarakat dan media dunia. Seorang kulit hitam yang berusaha keras menjadi calon Presiden negara adidaya, Amerika Serikat. Obama menarik perhatian dunia hanya karena dia sedikit ”berbau” islam dan warna kulitnya yang hitam, tak ada yang lebih, kalau kesehariannya hampir sama dengan penganut Kristen taat versi demokrat yang plural dan terbuka. Semboyannya ”berubah” (change) menjadi ikon disetiap kampanyenya.

Bagi media dunia seandainya Obama benar-benar menjadi Presiden Amerika, maka dia akan tercatat sebagai presiden kulit hitam Amerika yang pertama sepanjang sejarah negara yang mengklaim sebagai penggagas model demokrasi tersebut. Amerika masih rasis, percaya atau tidak banyak orang kulit putih yang sangat benci dengan Obama, itu juga mungkin yang membuat banyak orang kulit putih yang bersimpati kepadanya sama seperti di Indonesia saat Bu Mega dizalimi Pak Harto dan SBY saat terkesan dizalimi oleh Bu Mega, yang menang adalah yang terkesan dizalimi dan Obama berhasil menarik simpati masyarakat dunia dan Amerika tentunya.

Dan Indonesia adalah salah satu negara yang terkena demam Obama, hanya karena Obama pernah tinggal beberapa tahun di Menteng Raya, Jakarta Pusat, tidak lebih dari itu.

Wajah demokrasi baru Amerika ini menarik untuk dibandingkan dengan negara Indonesia. Sebagai negara pemeluk Islam terbesar di dunia yang masih memiliki citra islam kelompok radikal (meski sebagian kecil), justru Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam demokratisasi. Amerika sebagai pengusung demokrasi (katanya, klaimnya) untuk negara-negara berkembang justru jauh kita tinggalkan dibelakang.

Bagaimana tidak? Saat orang Amerika masih sibuk dengan sikap rasisnya, Indonesia sudah jauh meninggalkan budaya primordialnya dengan mengedepankan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika”, walaupun berbeda kita tetap satu juga. Memang Indonesia pernah dijajah oleh bangsannya sendiri, yakni pada zaman orde baru, namun menurut saya justru orde baru dengan sikap kerasnya itu mampu menjadi keadaan negara dalam keadaan kondusif dan mampu memberikan efek shok teraphi kepada kelompok separatis yang ingin lepas dari bingkai NKRI, kalau keburukannya ya pasti lebih banyak lagi.

Memang secara de facto dan de jure Indonesia lahir 1945, tapi secara demokrasi Indonesia baru lahir 1998 pasca reformasi yang dikomandoi oleh salah satu putra terbaik bangsa, Amien Rais.

Oke kita kembali ke topik awal. Mungkin bagi orang Indonesia yang baru merdeka 10 tahun sejak 1998 ini presiden kulit hitam dan sedikit berbau islam di Amerika itu bukanlah hal yang bisa menghebohkan. Sekali lagi saya katakan bahwa demokrasi Amerika jauh dibelakang kita, saat Amerika baru heboh tentang presiden rasisnya kita sudah melewati 2 presiden yang tak lazim dinegara Indonesia dan dunia yang mayoritas islam ini, Gus Dur dan Bu Mega.

KH. Abdurrahman Wahid adalah presiden pertama Indonesia (mungkin sekaligus dunia) yang kondisi fisiknya tak sesempurna presiden di negara lain, apalagi Amerika dan Ibu Megawati Soekarno Putri juga menjadi presiden pertama yang berasal dari kelompok perempuan di negara yang sensitif gendernya masih jauh wajar. Amerika berbeda warna saja sudah heboh dan seolah-olah akan menjadi Super Hero penyelamat ekonomi Amerika dan dunia. Saya kira cocoklah kalau kita nobatkan Indonesia sebagai negara yang sangat demokrasi di dunia ini.

Pemilunya yang pertama 1999 dan 2004 pasca reformasi semunya berhasil dengan mulus tanpa ada konflik yang berarti. Indonesia menerapkan one man one vote, Amerika tidak, mereka menggunakan model suara diwakilkan, gak tau apakah mereka pernah menerapkan model one man one vote itu (mungkin bacaan saya belum banyak tentang sejarah pemilu di Amerika) yang jelas Indonesia yang jumlah pemeluk Islamnya terbesar dan kelompok budayanya terbanyak dari Amerika ini telah berhasil menerapkan demokrasi secara apik dan bijaksana sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

Selamat bagi Indonesia ...........
Read More..

Kamis, 29 Januari 2009

Sebagian Bukan Berati Semua

Melihat Permasalahan Secara Objektif


Terminologi sebagian tidak bisa kita general-kan menjadi semua. Saat kita masih duduk di sekolah kita pasti masih ingat pelajaran dasar bahasa indonesia dibagian logika bahasa ada istilah quantifier yang kurang lebih defenisinya adalah kata yang menunjukkan banyaknya satuan yang diikat oleh term subyeknya.

Quantifier ada kalanya menunjuk kepada permasalahan universal, seperti kata: seluruh, semua, segenap, setiap, tidak satu pun; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan partikular, seperti: sebagian, kebanyakan, beberapa, tidak semua, sebagian besar, hampir seluruh, rata-rata, [salah] seorang di antara ...; [salah] sebuah di antara ...; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan singular, tetapi untuk permasalahan singular biasa¬nya quantifier tidak dinyatakan. Apabila quantifler suatu proposisi menunjuk kepada permasalahan universal maka proposisi itu disebut proposisi universal; apabila menunjuk kepada permasalahan partikular disebut proposisi partikular, dan apabila menunjuk kepada permasaiahan singular, disebut proposisi singular.

Kalau ditarik pelajaran bahasa indonesia dasar tadi ke UU BHP, pertanyaanya ”Apakah semua yang ada di UU BHP tidak sesuai dengan semangat UUD’45? Jika tidak sesuai hanya 1-5 pasal apa kita harus meng”amputasi” semuanya? Kalau kita analogikan dengan makanan misalnya, ada ulat/ busuk di sayur kol (ini sudah sangat biasa terjadi apalagi yang tidak menggunakan pupuk pabrik), apa semua bagian kol kita musnahkan? Bisa marah ”mamak” kita kalau cara kerja kita seperti itu. Dianilis dulu bagian mana saja yang ada ulatnya, kalau sudah ketemu bagian yang akan merugikan kita sebagai konsumen, ya tinggal kita amputasi saja bagian kol yang ada ulat atau busuk tersebut. Lebih efisien dan hemat tentunya.

Nah, kalau kita menarik model logika dalam bahasa indonesia sebagai dasar kita untuk berbicara dan menjelaskan argumentasi kita kepada orang lain, kita tidak boleh men-general-kan semua yang ada, menganggap semua yang dilakukan oleh orang lain/ pemerintah itu salah, menganggap semua yang dari asing itu salah. Sebagai akademisi yang mengedepankan logika dan fakta, kita tidak boleh terjebak pada istilah ”katanya”, ”menurut berita seperti ini”, ”isunya sih seperti ini ...”.Malu kita sebagai orang akademisi yang dianggap orang lain sebagai orang yang berpendidikan, bisa -sedikit -objektif dalam melihat sebuah permasalahan tapi nyatanya justru kebanyakan dari kita sama atau bahkan lebih parah dengan orang-orang yang ”tidak seberuntung kita” untuk melanjutkan pendidikan; emosian (mutungan), melihat masalah dari satu sisi saja, berpikir tidak runut, sekedar ngobrol tanpa kasi solusi yang solutif, mencela orang lain dan terus mengeluh tanpa aksi nyata untuk meminimalkan masalah saja (tidak usahlah terlalu muluk-muluk sampai menyelasaikan masalah).

Saatnya kita sebagai ”orang-orang beruntung” yang menikmati fasilitas pendidikan (yang juga dibiayai dengan uang asli rakyat indonesia melalui pajaknya) ini berpikir runtut, menganalisis masalah secara objektif dan memberikan solusi baik secara langsung ataupun dengan memberikan contoh-conoth yang ideal yang bisa kita lakukan bersama secara sistematis dan efektif serta memiliki efek ”wow” meminjam istilah bima arya dan efendi ghazali.
Selamat mencoba kawan .............karena hidup adalah perbuatan



Lt-2, barat 0 kilometer-nya jogja,
gedung pusat ormas islam terbesar
Read More..

Rabu, 28 Januari 2009

Fatwa MUI Perjuangan

KRITIK BUAT MUI TENTANG FATWA HARAM GOLPUT

Berikut Fatwa Haram dari MUI Perjuangan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan dasar untuk kemasalahatan ummat islam dan konsekuensi dari islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamain (rahmat bagi sekalian alam) maka kami dari MUI Perjuangan memfatwakan:

1. Haram hukumnya berkhianat kepada rakyat, baik eksekutif, legislatif dan Yudikatif.
2. Haram hukumnya legislatif studi banding ke luar negeri, karena menghamburkan uang Negara, dasarnya adalah mubazir, berlebihan dan semua hal yang berlebihan itu kawannya setan, dosa, ”HARAM”
3. Haram memilih parpol baik Islam atau non-islam dan calon legislatifnya serta calon pemimpin/ presiden/ gubernur/ bupati/ walikota/ kepala desa yang rakus kekuasaan.
4. Haram memilih calon legislatif dan calon pemimpin/ presiden/ gubernur/ bupati/ walikota/ kepala desa yang gagal pada periode sebelumnya dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan bahkan berkhianat kepada bangsanya
5. Haram hukumnya memilih partai politik islam atau non-islam atau calon legslatif yang terlibat Korupsi Kolusi Nepotisme.
6. Haram hukumnya mencalonkan diri jadi calon presiden atau calon wakil presiden, jika sudah pernah memimpin dan gagal.
7. Haram jadi calon legislatif yang terindikasi KKN.
8. Haram hukumnya berkhianat kepada rakyat dan tanah air.
9. Haram hukumnya pejabat makan gaji buta, khususnya DPR, PNS dan pegawai pemerintahan lainnya yang sering mangkir kerja.
10. Haram memakai mobil dinas yang tidak ada kaitannya dengan tugas negara.
11. Wajib hukumnya bagi pemimpin atau pejabat yang KKN untuk mengembalikan uang KKN dan membayar denda kaffarah sumpahnya.
12. Dan menghimbau kepada ummat islam dan diluar islam, jika calon-calon pemimpin baik legislatif dan eksekutif dianggap tidak memenuhi kriteria diatas (bersih dari unsur KKN dan tidak amanah) maka tidak wajib memilih dalam pemilu 2009 sampai seterusnya.

Demikian Fatwa ini kami keluarkan dengan mempertimbangan manfaat dan mudharat-nya pemilu di indonesia dan sebagai kritik serta masukan kepada calon pemimpin bangsa, dan jika ada terbukti saat legislatif dan yudikatif tidak amanah dan KKN serta menyalahi tugas dan wewenanganya, MUI Perjuangan akan mengeluarkan Fatwa yang berisi rekomendasi kepada Allah SWT agar mereka yang terbukti bersalah itu dimasukkan kedalam api neraka tanpa ampun sama sekali.
Atas perhatinnya kami sampaikan terimakasih

Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh


Langit pertama, Januari 2009

MUI Perjuangan



K.H. Abdul Rahman Syahputra Batubara, c S.Sos
Ketua Dewan Tanfidziyah
Calon Kiai Langitan
Read More..

Budaya Mengeluh, Saling Menyalahkan dan Sikap Selalu Curiga

Belajar dari orang-orang optimis dan yang memberikan contoh nyata

Sebagai makhluk sosial kita memang sudah pasti tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Sejak lahir sebenarnya kita sudah mulai belajar hidup bersosial/ bermasyarakat. Mulai belajar behasa untuk alat komunikasi merupakan langkah awal yang harus kita lalui dengan tahapan-tahapannya. Sesudah dewasa juga sama itu akan terus berulang sampai kita tua nanti, artinya kita terus belajar sampai kita menjadi manusia paripurna yang bijak dalam melihat seluruh persoalan hidup.

Budaya mengeluh, menyalahkan orang lain dan saling curiga itu wajar saja, orang bijak bilang itu sah-sah saja dan itu sangat manusiawi. Orang banyak mengeluh terhadap persoalan hidup kemudian menyalahkan pihak-pihak/ stakeholder masalah dan mencurigainya pula. Masalah itu wajar adanya dan lahir memang dari interaksi antar manusia yang punya bejibun kepentingan masing-masing.

Dan sudah lumrah adanya, setiap manusia tidak pernah merasa puas, dalam sebuah organsiasi kecil berjumlah 10 orang saja, jika ada 1 kebijakan tentang membagi-bagikan sedikit ”kue” pasti ada saja orang yang tidak puas. Itu wajar saja, karena memang sifat manusiawinya tadi itu. Orang yang tidak puas tadi merasa kenapa bagiannya disamaratakan dengan yang yanglian karena dia merasa dirinya lebih banyak dan sangat aktif bekerja sementara yang lain sedikit berusaha atau bahkan tidak sama sekali. Atau mungkin ketika pembagian ”kue” itu berdasarkan keaktifan dan kesungguhan mereka bekerja itu juga akan menimbulkan kericuihan baru, kemudian curiga jangan-jangan si A sebagai pimpinan kelompok berkolusi dengan si C yang mendapat bagian yang sangat besar. Itu masih masalah bagi membagi ”kue” yang sudah jumlah anggotanya 10 orang, bagaimana kelompok manusia di tingkatan RT, RW, dusun, desa, kelurahan, kecamatan, kabuoaten/ kota, propinsi, negara dan dunia internasional?

Sekali lagi, masalah ketidak puasan hadir karena berbagai macam kepentingan yang dibawa masing-masing individu, tinggal kebijaksanaan kita sebagai manusia dan sebagai pemimpinlah yang bisa menyatukan semua kepentingan masing-masing individu tadi itu. Masalah bangsa kita juga demikian adanya. Banyak aktivis saat masa-masa aktif dikampus menjadi sangat idealis, sangat peduli dengan orang yang mereka kelompokkkan dalam kelompok orang-orang yang ter-marginalkan. Mereka sangat peduli dengan nasib wong cilik. Tapi, senior-senior mereka (sebagian) banyak yang sudah jadi pengusaha korup, pejabar pemerintahan korup, hakim dan jaksa korup, wartawan korup dan anggota legislatif korup yang semuanya dilakukan mereka-mereka itu hanya karena ”masalah perut” tadi itu.

Anggota legislatif merasa negara belum adil kalau mereka belum difasilitasi oleh negara untuk pribadinya seperti rumah, kendaraan, mesin cuci, laptop, biaya listrik, biaya komunikasi dan lainnya yang dasar mereka adalah karena anggota legislatif itu merupakan perwakilan rakyat yang sah dalam pemilu dan sah menurut undang-undang yang mengaturnya dan itu kita akui benar adanya, mahasiswa ”yang sebagian” aktifis kampus jugua merasa belum adil kalau pendidikan belum difasilitasi oleh negara secara cuma-cuma alias gratis apalagi pemerintah yang tidak membantu proposal kegiatan mereka atau anggota legislatif plus pengusaha yang belum pernah membantu kegiatan mereka ya siap-siap saja untuk dicecar karena tidak pro-rakyat (rakyat-rakyat di kampus maksudnya), orang-orang di yudikatif juga sama kembali menyalahkan negara yang membayar upah mereka dengan sangat minim sehingga mereka merasa ”goyah” ketika ada tawaran yang lebih menggiurkan. Nah, pertanyaannya saat negara sedang disalahkan oelh banyak pihak, kenapa negara tidak reaktif dengan tanggapan itu semua yang semuanya mengatasnamakan rakyat?

Ada yang cepat dan ada pula yang lambat, tergantung urgen dan tidaknya sebuah kebijakan itu. Mungkin anggota legislatif disumpal dulu mulutnya dengan bejibun fasilitas karena memang secara resmi merekalah yang mewakili rakyat menurut undang-undang, untuk mahasiswa lebih gampang lagi dengan memberikan sumbangan untuk setiap proposal yang mereka ajukan plus pimpinan mereka dijadikan ”staf ahli” resmi milik negara, dah sudah pasti mereka tak akan teriak lagi dengan terus mengatasnamakan rakyat. Lingkaran sumpal menyumla ini terus menjadi lingkaran setan. Pertanyaanya kemudian uang untuk kasi fasilitas legislatif, eksekutif, yudikatif dan proposal mahasiswa itu dari mana? Kas negara juga kan? Mahasiswa melalui pergerakannya semakin banyak mengadakan ”agenda mendesak bangsa” dengan terus rapat akbar (yang namanya munas-lah, kongres-lah, muktamarlah dan itu belum lagi pelatihan setingkat nasional, seminra nasional dan program nasional) dengan biaya yang sangat besar dan sumber dana utamanya adalah kas negara, terus rakyat yang akan diberi pendidikan gratis gimana dong? Kan uangnya dah dibagi-bagikan kepada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan rakyat tadi, terus rakyat-nya gimana kalau sudah begini?

Di bagian eksekutif sebagai pelaksana undang-undang juga sama, di internal mereka juga ada budaya sikut sana dan sikut sini, mereka berprilaku demikian karena ”masalah perut” juga. Di dunia kampus juga antar dosen dan pejabat kampus juga sama berebut ”posisi nyaman” difakultas dan universitas, antar mahasiswa yang satu golongan tadi juga sama saling sikut karen kalau bisa jadi pimpinan kelompok akses ke atas jadi lebih gampang dan mungkin saja jadi ”staf ahli” jadi lebih cepat, dan akhirnya sampai di rakyat juga sama, gara-gara perut perang antara GAM dan TNI di Aceh, gara-gara perut pecah perang di Ambon yang mengatsnamakan perang agama, gara=gara perut Presiden pertama RI juga turun padahal negara yangdibela para kaum aktivis juga tak lebih hampir sama dengan soeharto seperti Venezuela dan Kuba yang presidennya nyaris seumur hidup, gara-gara perut juga sebagian kerajaan di nusantara membela penjajah (Raja Bone, Aru Palaka melawan Sultan Hasanuddin Makassar misalnya) dan masih gara-gara perut NU dan Muhammadiyah juga saling klaim di kampus negeri islam. Dan intinya semua masalah itu berawal dari ”sumber periuk” mereka atau ”sumber dapur” mereka yang diganggu orang lain atau merasa diganggu oleh orang lain, 10 orang saja ribut apalagi sebuah negara. Kesimpulannya masalah terjadi karena bersinggungannya berbagai kepentingan di dalam interaksi manusia yang jumlahnya sudah bejibun dengan latar belakang budaya, bahasa, agama dan sifat individunya.

Belajar dari orang-orang yang tak mengeluh
dan memberikan solusi nyata dalam dunia pendidikan


Kita pasti masih ingat sekolah qoryah toyyibah di Salatiga, Jawa Tengah yang memberikan model sekolah alternatif untuk dicontoh oleh anak bangsa lainnya. Kalau kita banyak membaca dan mau mencari informasi ternyata model sekolah seperti qoryah toyyibah ini juga sudah banyak bahkan sebelum sekolah ini ada. Sekolah Muhammadiyah pedesaan atau daerah kota tapi belum semaju kota=kota besar lainnya, justru masih banyak sekolah Muhammadiyah yang persis dengan model sekolah qoryah toyyibah bahkan bisa dikatakan lebih bagus, kita bisa liat di Bantul Yogyakarta dan kota Kendari Sulawesi Tenggara.

Saya masih sangat yakin masih banyak sekolah-sekolah tangguh yang lahir dari budaya saling tolong menolong antar masyarakatanya. Didaerah jakarta juga ada sekolah alternatif yang dikelola oleh 2 orang ibu kembar istri TNI yang sampai saat ini mereka memiliki ratusan sekolah alternatif dan gratis tadi, biayanya mereka dapat dari kantong sendiri dan menariknya mereka tak meminta bantuan dengan proposal tapi orang-orang yang berduit yang tergerak hatinyalah yang datang menyumbang ke sekolah itu, sekali lagi bukan karena proposal permohonan bantuan, ini saya baca di majalah Lion Air saat terbang pulang ke Medan, Sumatera Utara. Dan masih banyak lagi, kita bisa ambil hikmah dari budaya bangsa kita dalam kerjasama dan saling tolong menolong dengan menonton setiap episode Kick Andy, kita juga bisa mencari data di fasilitas mesin pencari google tentang siapa dan dimana saja sekolah alternatif yang sudah didirikan oleh swadaya masyarakat asli.

Dan kita sebagai anak bangsa masih harus terus membaca dan belajar mamahami kehidupan agar tidak menjadi orang-orang yang mengeluh, saling menyalahkan, pengecut dan curiga kepada orang lain.



Putra Batubara
Saat semua orang mengeluh....dan curiga
Saya lebih memilih optimis, kerjasama dan sama-sama bekerja
Read More..

UUD 1945 sebagai guide UU yang ada

Kita tahu bahwa UUD 1945 sebagai bahan baku awal untuk membuat legalnya sebuah Negara, ini pelajaran dasar mata pelajaran tata negara saat kita sekolah SMA kelas 3 IPS tentang apa saja unsur untuk mendirikan negara baik secara de facto maupun de jure, nah undang-undang dasar termasuk hal yang mendasar dalam membentuk sembuah negara. Dan unsur lain yang harus ada sebelum mendirikan sebuah Negara adalah rakyat dan wilayahnya (land-nya-tanah) plus pengakuan dari negara lain.

Oke kita akan membahas tentang UUD 1945, banyak para aktivis yang menggunakan dasar UUD 1945 sebagai cermin untuk melihat apakah sebuah undang-undang turunannya telah sesuai dengan semangat UUD 1945 yang ada. Nah, UUD 1945 itu hampir sama dengan kitab suci dalam sebuah agama, perlu penjelasan lagi karena kalau tidak ada penjelasannya bisa menimbulkan banyak tafsiran atau asal tafsir saja. Semangat UUD 1945 ada di pembukaan UUD itu sendiri dan intinya ada di pancasila sebagai dasar/ inti/ substansi sebuah Negara. Nah dari pembukaan UUD dan pancasila-lah kita bisa menjelaskan maksud dari UUD tersebut dengan menghubungkan kondisi real masyarakat baik dari sisi budaya, pendidikan, ekonomi dan variabel lain yang dapat mempengaruhi arah/ tujuan/ semangat didirikannya sebuah Negara.

Saat ini UUD 1945 milik bangsa Indonesia sudah ada kalimat pejelasnya bahkan kalau dulu saat SD saya masih hafal butir-butir pancasila yang itu juga sebagai penjelas dari pancasila (bisa di akses di goolge..). Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu direvisi atau mungkin lebih baik undang-undang yang dibawahnya seperti UU sistem pendidikan nasional-lah (dalam hal pendidikan) yang perlu direvisi agar kesakralan UUD 1945 kita tidak hilang.

Karena masalah amandemen UUD 1945 ini juga terjadi pro dan kontra nya di masyarakat terutama para elit bangsa, ada yang mengatakan tidak boleh karena itu adalah guide untuk Indonesia dan merupakan aset bangsa kita, sehingga kalaupun mau dirubah maka harus dibagian penjelasnya dan undang-undang turunnya, plus produk hukum yang bisa mengikutinya seperti peraturan pemerintah, perpu, kepres, perda dan lainnya.

Jadi seharusnya UUD 1945 memang tidak di amandemen, kalaupun sudah diamandemen diusahakan agar jangan terlalu sering, kalau diamandemen terus bisa tak punya asset lagi bangsa ini, masak setiap ganti pimpinan bangsa maka UUD 1945 harus diubah lagi? Semoga saja pemimpin berikutnya lebih bijak melihat ini semua….




Putra Batubara
Almuni Ikatan Remaja Muhammadiyah
Ranting Lubuk Pakam Pekan, Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara
Read More..

Senin, 26 Januari 2009

Transformasi Komunikasi Dunia

“Saya baru mengenal si dia beberapa bulan yang lalu. Kata kenal juga sebenarnya tak pantas untuk dikatakan, karena sampai detik ini saya dan dia belum pernah bertatap muka langsung, hanya lewat foto. Unik juga perkenal dengan bantuan mesin “ym” ini. Beberapa teman saya malah dapat pasangan hidup melalui ym-an ini. Hmmm menarik juga ya, mungkin saya juga bisa dapat jodoh melalui media ini , he he he ....

Saya mengenal si dia dari FS teman, awalnya sih iseng-iseng saja. Setelah tuker-tukeran alamat email kita lanjut ke tuker-tukeran alamat ym biar lebih asyik ngobrol-nya. Akhirnya setelah dapat alamat ym-nya saya dan dia janjian untuk ngobrol via ym. Lumayan juga waktu yang kita pilih, sekitar jam 22.00 sampai 24.00 WIB. Karena penasaran ingin mengenal lebih jauh akhirnya saya sudah online lebih awal sekitar jam 20.00 WIB, sampai akhirnya dalam waktu yang cukup lama kami sudah tuker-tukeran nomor handphone, ketemuan di negaranya (Kuala Lumpur, Malaysia) dan happy ending dengan menikah.......... saat ini saya sudah dikaruniai oleh Tuhan (sementara) 2 orang anak yang lucu-lucu dan cerdas-cerdas .....”

Potongan cerita diatas sebenarnya banyak terjadi dewasa ini, saat ini pergeseran komunikasi luar biasa, ntah kita sebut mengalami kemajuan atau tidak yang jelas saat ini dengan hanya duduk di depan komputer yang tentunya sudah terkoneksikan dengan jaringan internet kita bisa say hello, bercakap-cakap, diskusi sampai mengumpat dan menghina dengan banyak orang di seluruh Indonesia. Dan kalau kita bisa sedikit menguasai bahasa inggris kita juga bisa bangun komunikasi dengan orang diluar Indonesia.

Mungkin kalau orang yang “awam” teknologi akan melihat bahwa kawan-kawan kita yang sering online ini tak punya kerjaan, aneh dan tak bisa bersosialisasi dengan orang lain. Justru, mereka itu punya teman-teman sendiri di dunia maya, mereka juga bisa mendapatkan uang masuk dari hobi baru mereka itu. Banyak fasilitas di dunia maya yang bisa dijadikan sebagai sumber keuangan pribadi, bisa dengan jualan online atau ikut jejaring iklan lainnya. Belum lagi bisnis hitam seperti mencuri uang orang via internet, merusak website orang lain atau bisa juga menyebar virus baru agar mereka bisa menjual anti virusnya dengan mudah seperti penjual kacang goreng.

Hampir sama dengan dunia nyata, dunia maya juga ada pengamannya, ada undang-undang yang membatasi kebebasan mereka, ada pimpinannya dan mereka juga memiliki organisasi baik lokal, nasional sampai internasional. Jadi, bisa disimpulkan bahwa saat ini manusia telah mengalami transformasi komunikasi dari komunikasi tradisional ke komunikasi modern. Memang masih banyak kelemahannya, tapi minimal yang selama ini kita yang tidak bisa berkomunikasi dengan orang diluar kota, atau negeri kita karena tak punya jaringan di sana, saat ini kita sudah bisa dengan bebas mau kemana dan kepada siapa kita berkomunikasi. Bahkan seperti penggalan tulisan diatas kita juga bisa mencari pasangan hidup melalui jaringan komunikasi modern ini, banyak yang sudah membuktikannya. Apakah saya salahsatunya? Kita liat saja nanti 3-4 tahun lagi .......


Putra Batubara
Mahasiswa komunikasi
Read More..

Kota kecil bernama Lubuk Pakam

Catatan awal tahun untuk Pemda Deli Serdang

“Apa kata dunia? …..”
Siapa sih yang tak kenal dengan kalimat itu, adalah Dedi Mizwar dalam film Naga Bonar yang sempat kontrofersi di zamannya karena menggunakan nama tokoh Bujang sebagai salahsatu “teman” si naga bonar. Kita tidak membahas pro-kontra film tersebut di sumatera utara, tapi yang saya ambil adalah nama kota yang dijadikan latarbelakang alam film tersebut. Kenapa harus kota lubuk pakam, kok tidak medan saja yang sudah terkenal atau mungkin kota sibolga saja yang punya keindahan alam yang luar biasa.

Mungkin Dedi Mizwar punya gagasan kalau kota ini diangkat, penonton akan menanyakan seperti apakah kota lubuk pakam itu? Sehingga orang-orang yang ada di lubuk pakam minimal menyiapkan diri untuk keterkenalan mereka. Kejadian ini hamper sama seperti novel Laskar Pelangi yang telah mengangkat kota kecil di daerah Bangka Belitung. Pemerintah lokalnya menutup diri dari potensi ini semua, termasuk lubuk pakam.
Saya sudah 4 tahun lebih tidak berada di kota kelahiran saya itu, perkembangannya? Hampir tidak ada pembangunan yang “luar biasa” Pemda hanya menutup selokan yang zaman orba juga memang ditutup, saat reformasi di buka lagi kemudian ditutup lagi saat mendekati pilkada, mungkin biar Pemda Deli Serdang tampak bekerja dan membangun seperti slogan incumben yang ikut nyalon kembali. Ada juga perbedaan jalur kendaraan di kota lubuk pakam yang satu arah ke arah POLRES Deli Serdang yang menurut saya juga gak terlalu berpengaruh untuk kota sekecil lubuk pakam. Gedung sekolah juga begitu, malah ada beberapa sekolah yang mati dan “akan mati” karena kekurangan siswa. Angkutan umumnya juga demikian, mobilisasi orang lubuk pakam seolah-olah berkurang ke kota medan karena jumlah pilihan angkot yang saat saya tinggalkan masih ada 5 pilihan angkot ke medan tapi saat ini tinggal 3 angkot saja. Orang yang bekerja di medan memilih lebih baik pindah dan berdomisili di medan dari pada harus menghabiskan biaya yang besar untuk transportasi, ini mengindikasikan bahwa di lubuk pakam lapangan kerja tidak tersedia dengan jumlah masyaralat dan anak lulusan SMA/ STM/ MA juga bertambah besar. Semuanya berbondong-bondong pindah ke medan, apakah untuk kerja atau melanjutkan studinya.

Yang lebih menarik lagi saat PILKADA Deli Serdang, yang menang juga bukan para calon bupati, tapi yang menang adalah golongan putih (yang kata MUI kemarin haram), mungkin saja rakyat Deli Serdang merasa aspirasi mereka tidak terwakilkan dari calon bupati yang lebih dari 7 pasang calon itu. Akhirnya pilkada itu dimenangkan oleh incumben. Selamat deh buat pak Amri Tambunan, semoga gak korupsi aja.
Sebenarnya saya masih punya impian tentang kota kecil ini. Lubuk Pakam bisa sebagai pusat industri, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Jangan tunggu Bandara kuala namu baru kita mulai berbenah, malu dong kita dengan kabupaten pecahan kita serdang bedagai yang pembangunannya luar biasa apik dan merata. Masak kita kalah start dengan kabupaten sebelah, ini semakin memperkuat analisis kita bahwa Pemda Deli Serdang memang mandul dalam pembangunan dan tidak puny aide segar untuk memakmurkan ya minimal ibu kota kabupatennya sajalah, kota lubuk pakam.
Kota Lubuk pakam berada di tengah kecamatan seperti Beringin, Pagar Merbau, Galang, Gunung Meriah, Bangu Purba, STM hulu dan STM Hilir dan ada lagi pantai labu yang lebih dekat mengakses ke kota lubuk pakam daripada ke kota Medan, ya kita tidak usah hitung kecamatan seperti Pancur batu, sibolangit, tanjung morawa dan batang kuis dll yang lebih dekat ke kota Medan daripada ke pakam.

Dengan potensi kecamatan-kecamatan di sekitar pakam ini, justru ibu kota Kabupaten Deli Serdang bisa dijadikan sebagai pusat pendidikan, kesehatan dan ekonomi sementara Pantai Labu sebagai pusat industri dan kota Galang juga bisa dijadikan sebagai pusat ekonomi karena memang wilayah kecamatan di sekitarnya juga cukup luas. Akhirnya pembangunan akan menjadi merata, rakyat Deli Serdang makmur karena banyak tempat untuk bekerja ditambah lagi anak-anak muda Deli Serdang bisa cerdas dengan bertebarannya kampus-kampus yang sesuai dengan kondisi lokal Deli Serdang dan perpustakaan daerah yang aktif disetiap kecamatan dengan bajibun buku-buku anyar yang berkualitas, plus akses internet gratis di setiap perpusatakaan kecamatan tadi. Ini wacana yang bisa dimulai pembangunannya oleh Pemda Deli Serdang saat ini, tapi mungkin masih jauh panggang daripada api-nya.
Read More..

Jumat, 23 Januari 2009

Budaya Base on Data

Budaya Base on Data


Budaya organisasi saat ini mulai bergeser ke arah yang positif. Kalau sebuah event organizer (EO) biasanya akan mengadakan survei kecil-kecilan dulu kalau mau ngadaian event, mula-mula mereka akan menentukan segmen event dan event apa , jika acaranya musik kira-kira mereka akan menanyakan jenis musik dan siapa nama grup musik yang paling favorit, dan ditambah lagi dengan pertanyaan apakah mereka akan hadir jika EO tersebut jadi mengundang grup musik favorit mereka tadi itu. Nah, dari data ini, EO bisa meminimal resiko. Kalaupun meleset gak jauh-jauh amatlah.

Budaya buat event dengan dasar data di lapangan ini sebenarnya sudah lama ”dikerjakan” oleh kelompok akademik. Tapi, tetap saja budaya ini belum membumi. Saat Amerika heboh dengan model polling-nya sejak puluhan tahun yang lalu, Indonesia baru meyakini benar kehebatan polling pada pemilu 2004. Lembaga survei periode awal di Indonesia yang independen mulai menorehkan tinta emas di berbagai media massa, walaupun ada yang tidak independen -bedasarkan pesanan- itu hal yang lumrah, tapi media tetap bisa memilah dan memilih lembaga survei mana yang mereka anggap objektif dan memiliki kredibilitas dan metode yang sesuai dengan kondisi lokal Indonesia.

Di jogja misalnya, budaya meneliti masalah sosial ini sudah sangat lama -mungkin karena banyak kampus sebagai konsekuensi kota pelajar-. Adalah Iip Wijayanto seorang peneliti masalah sosial, pernah meneliti dan mempublikasikan penelitiannya tersebut, bahwa lebih dari 90% mahasiswi Jogja tidak perawan lagi. Dari data ini dia mengulas bahwa budaya ”free sex” sudah merambah sampai ke kota budaya dan tepelajar ini. Walau sempat heboh, pemerintah Jogja juga mengklarifikasi dan berusaha mencegahnya dengan banyak cara, salah satunya dengan mewajibkan induk semang -bapak/ibu kos- dan kos putra/ putri dipisah. Hasilnya lumayan, wacana dari Iip Wijayanto sudah tidak atau sangat jarang diangkat lagi. Ini juga karena kerjasama dan kerja keras ormas, OKP dan masyarakat Jogja.

Begitu juga dengan ormas –organisasi masyarakat- dan OKP –organsasi kepemudaan-, jika ingin visi, misi dan programnya tepat sasaran, mereka juga harus mulai menggunakan budaya penelitian. Penelitian ini bisa memberikan data real tentang sukses dan tidaknya sebuah program kerja, penelitian juga sebagai kontrol apakah program kerja kita sesuai dengan sasaran dan tujuan awal yang berkorelasi dengan visi misi organsiasi kita. Dengan penelitian, biaya, tenaga dan waktu bisa sangat efektif. Dengan budaya ini kita sangat bisa dan percaya diri mempublikasikan program-program kita yang sudah tepat sasaran dan mampu menyelesaikan masalah sosial yang ada.

Selamat mencoba meneliti ....
hari gini ngomong gak pakai base on data malu ah .......

oleh Abdul Rahman Syahputra Batubara
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah ranting Lubuk Pakam Pekan
Kabupaten Deli Serdang
Read More..

Pasangan hidup itu …..

Pasangan hidup itu …..
kebutuhan yang penting tapi belum mendesak
Sibolga in love?hmmm


Kita sudah ditakdirkan untuk tidak bisa hidup sendiri. Tuhan sudah mentasbihkan bahwa laki-laki memiliki pasangan dengan lawan jenisnya yang biasa disebut perempuan. Kita pastilah manusia sosial yang masih butuh interaksi dengan siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Komunitas/ kelompok kita tidak bisa menghindari pertemuan antara 2 kelompok yang berlainan jenis ini. Kalaupun ada, itu hanya sebatas formalitas seperti kelompok agama tertentu atau institusi pendidikan tertentu.

Judul diatas bukan untuk orang lain, itu adalah statement yang keluar dari hati kecil saya. Saya banyak berinteraksi dengan banyak orang termasuk tentunya yang berlainan jenis. Tertarik? Sudah pasti dong … saya pernah membaca sebuah tulisan kalau laki-laki itu lemah di mata dan perempuan itu lemah di telinga. Dan saya juga pernah membaca tulisan tentang jenjang kebutuhan sesorang dengan membagi menjadi 4 kategori yakni penting-mendesak, penting-tidak mendesak, tidak penting-mendesak, tidak penting-tidak mendesak.

Kalau falsafah jawa mengatakan bahwa cinta itu datang karena kebiasaaan, itu juga sering terjadi dalam proses interaksi kita. Seperti yang saya tuliskan diatas, saya juga merasakannya, saya tertarik kepada “mereka-mereka” tapi sekali laghi hati kecil saya selalu berkata untuk jangan terlalu cepat untuk menyatakannya karena itu adalah kebutuhan yang sangat penting tapi …belum terlalu mendesak. Susah juga ya……pusing deh

Tapi memang kalau setiap ada event saya agak gimana gitu, karena saya takut menemukan “hal-hal yang demikian itu”. Padahal saya bukan tipe orang yang anti pacaran atau mengaharamkannya, gak tau ya kenapa.... saya juga bingung nih….
Read More..