Rabu, 25 Maret 2009

Hiruk Pikuk Pemilu 2009

Banyak yang berkomentar negatif dengan suasana pemilu 2009 ini. Ada yang berkomentar dari politik uang, politik sembako, jumlah partai yang banyak dan pastinya jumlah calon anggota legislatifnya juga berbading lurus dengan jumlah partai yang lebih dari 40 partai.

Pemilihan umum adalah pestanya rakyat, di sini mereka benar-benar jadi raja, rakyat apa saja dan profesi apa saja. Mau abang becak, pengamen, ibu rumah tangga, penjaja seks komersil dan masih banyak lagi yang kesemuanya ikut berpesta dalam gawean besar bangsa Indonesia ini. Boleh – boleh saja para politisi saling sikut di media dan panggung ”sandiwara” saat kampanye terbuka. Sah-sah saja kalau kaum intelektual mengatakan ini pemilu paling boros dan paling ribet dengan hitung-hitungan mereka yang tentuya menurut rakyat tadi njlimet juga. Tapi yang jelas secara pragmatis rakyat tetap merasa senang dengan gawean besar ini.

Rakyat tidak berpikir jauh ke depan 5-10 tahun, mereka biasa berpikir dengan ”cari hari ini untuk makan 2-3 hari ke depan” atau mungkin lebih parah adalah ”cari hari ini untuk makan hari ini”. Mereka senang pak SBY membagikan BLT yang kita juga tak tau BLT ini memang agenda pemerintah atau bukan, mereka senang disuguhkan dengan tontonan gratis oleh partai politik yang mengundang artis-artis ibu kota dan mereka juga senang kalau ada partai yang datang door to door untuk membagikan kaos partai, ”lumayan untuk baju tidur atau baju rumahan,” katanya seorang ibu rumah tangga saat ditanya wartawan, ibu tersebut punya 10 kaos partai yang warnanya berbeda-beda. Belum lagi kalau Pak RT dan Pak RW yang datang bak malaikat penolong dan mengajak mereka untuk kampanye terbuka dengan iming-iming uang tunai 30 ribu plus makan siang dan kaos partai.

Terus apa salah kalau rakyat menerima uang tunai untuk mencontreng partai atau caleg tertentu? Kalau menurut saya sih tidak juga, kenyataan dilapangan adalah orang-orang pinter nan idealis (sampai saat ini) belum mampu mewarnai istana dan senayan. Bukan pesimis dengan perubahan, sekali lagi bahwa rakyat saat ini butuh makan dan uang tunai bukan janji-janji akan masuk syurga, dapat pekerjaan apalagi negara makmur sentosa.

Berkah Pemilu dan Pilkada

Disadari atau tidak, pilkada dan pemilu 2009 sangat banyak manfaatnya. Penulis mengamati bahwa krisis global tidak bisa menghempaskan kapal besar Indonesia untuk tenggelam dalam krisis moneter -seperti pada tahun 1997-1998-. Gara-gara politisi kitalah ekonomi bangsa ini tak kena efek samping dari goyangnya ekonomi dunia. Banyak pilkada saja sudah memberikan efek yang positif bagi pertumbuhan ekonomi kita. Bayangkan dalam 1 pilkada uang beredar atau jumlah konsumsi senilai 1 M, sudah berapa banyak pilkada yang ada di Indonesia sampai saat ini dan nominal 1 M tadi saja masih belum mendekati uang yang beredar dalam kampanye calon bupati atau walikota di sebuah kabupaten/ kota. Hitung saja dari 2007 –awal 2009 berapa pilkada bupati dan gubernur yang terselenggara?

Daya beli masyarakat meningkat tajam sejak pilkada langsung dimulai di Indonesia minimal dibeberapa sektor seperti percetakan, perusahaan advertising, iklan di media cetak dan elektronik, perusahaan konveksi (kaos dan bendera partai), perusahaan transportasi dan belum lagi uang yang bersinggungan langsung dengan rakyat kecil seperti sumbangan pembangunan rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dan panti asuhan dari calon bupati/ walikota dan gubernur, fee dari saksi di setiap TPS (tempat pemungutan suara) dan tim kampanye. Jadi, sangat wajar kalau kita juga harus berterima kasih kepada politisi dan calon bupati/ walikota dan gubernur yang ikut berkontribusi langsung dalam menstabilkan pertumbuhan ekonomi negara kita.

Terus apa rakyat kita untung? Ya, tentunya jawaban ini hanya bisa dijawab langsung oleh rakyat sendiri. Tapi, kenyataan dilapangan pasca pilkada langsung justru banyak bupati/ walikota dan gubernur terpilih yang benar-benar peduli kepada rakyatnya. Majalah Tempo pernah memuat 10 bupati dan walikota terbaik versi tempo yang tentunya di nilai dari realisasi program kepala daerah yang pro-rakyat. Mungkin ini bisa menjawab pertanyaan diatas, apakah rakyat untung pasca pilkada?

Pemilu 2009 ini juga sama bahkan lebih dahsyat lagi, perusahaan yang bersinggungan langsung dengan fasilitas kampanye seperti hotel, perusahaan transpotasi dari becak sampai pesawat, perusahaan konveksi (kaos dan bendera partai), advertising, buruh pasang bendera, perusahaan percetakan dan masih banyak perusahaan lainnya yang ikut kebanjiran pesanan dan order. Belum lagi bisnis pengerahan massa. Di sini daya beli masyarakat meningkat tajam, tentu saja rakyat juga yang diuntungkan, pedagang kecil juga dapat berkahnya saat kampanye terbuka dilapangan atau tertutup di GOR atau stadion seperti penjual minuman, mainan anak-anak, rujak, rokok, permen dan masih banyak lagi.

Akhirnya kita sebagai anak bangsa (meminjam istilah pak Amin Rais) harus bisa melihat sesuatu itu dari banyak sudut pandang, jangan terjebak pada satu atau dua sudut pandang saja. Komentarnya orang – orang intelektual di media massa dan elektronik tak akan mampu menahan krisis keuangan global.

Mari belajar bersama melihat sesuatu dari banyak sudut pandang....


Putra Batubara
Mahasiswa Akhir Jurusan Komunikasi
Read More..

Belajar Membuat Komunitas

Komunitas sebenarnya hampir sama dengan organisasi yaitu sekumpulan orang yang memiliki satu tujuan tertentu. Tapi komunitas jauh lebih simpel atau sederhana dan keanggotaanya bersifat sangat terbuka. Biasanya komunitas hadir dari kebiasaan yang sama oleh beberapa orang yang iseng-iseng ngumpul. Hanya bedanya dengan organisasi pada umunya komunitas lebih enjoy (nyantai) karena model kepemimpinannya lebih pastisipatif

Untuk memulai sebuah komunitas sederhana saja sebenarnya, tidak sesulit organisasi yang harus punya kantor, kop surat dan macam-macamnya-lah. Ada contoh beberapa komunitas yang kemudian menjadi besar dan eksis sampai tingkat nasional seperti komuniat nge-blog, komunitas bike to work, komunitas sepeda onthel dan masih banyak lagi

Bagaimana memulai komunitas?

Pertama, untuk awal membuat komunitas kita petakan dulu, komunitas kita ini, seperti kesamaan apa yang akan diambil sehingga jelas “kelamin” komunitas yang akan kita bentuk, misalnya kamunitas pembaca majalah tertentu, atau komunitas film indie. Kedua, setelah jelas apa komunitas yang akan kita bangun, selajutnya kita tentukan tujuan akhir dari komunitas kita, hanya sekedar kumpul-kumpul saja atau ada ikatan khusus yang nantinya bisa menjadi modal sosial untuk masing – masing anggota komunitas

Ketiga, tentukan model kepemimpinan komunitas dan aturan main pergantiannya dengan prinsip partisipatif. Keempat, jalankan beberapa event yang tidak perlu mengeluarkan budget yang besar yang bisa menunjukkan eksistensi dan kontribusi dari komunitas itu terhadap masyarakat di sekitarnya, Kelima, tularkan informasi komunitas ini melalui media seperti blog, friendster, facebook dan pers release ke media lokal dan nasional moga aja ada yang tertarik dan membuat komunitas yang sama diseluruh antero jagad raya atau minimal komunitas kita menginspirasi banyak orang untuk berbuat yang sama dalam bentuk lain, Keenam, ya sudah mulai saja membuat komunitasnya karena teori itu 1% dan praktek itu 99% tingkat keberhasilannya.
Selamat mencoba untuk semua …………


Putra Batubara,
Pernah aktif juga dalam komunitas anak-anak pecinta alam
Di Lubukpakam
Read More..

Jumat, 20 Maret 2009

Kekerasan Pelajar di Sekolah Salah Siapa?

Akhir-akhir ini kita disuguhkan tontonan menarik tentang pelajar di sekolah yang melakukan tindak kekerasan baik putra ataupun putri. Kemajuan teknologi menjadikan kasus perkasus bisa langsung di akses oleh media nasional seperti televisi dan adegan tersebut ditayangkan secara langsung. Yang menartik disini adalah kasus kekerasan ini biasa terungkap setelah tersiar kabar di media massa dan pihak sekolah baru “mengambil sikap” setelah kasus itu disiarkan oleh media massa.

Pertanyaanya kemudian, kemana fungsi dan tugas sekolah yang mendidik peserta didiknya itu? Kenapa hal-hal yang sebesar ini bisa tidak diketahui oleh pihak sekolah? Atau jangan – jangan pihak sekolah juga sudah tahu dan berusah untuk menutup-nutupinya. Terus kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, guru agama, wali siswanya atau mungkin OSIS dan Rohisnya (karena kejadian ini banyak terjadi di sekolah negeri). Biasanya perdebatan akan terjadi disekitar nama-nama diatas dan mereka akan saling menyalahkan.

Idealnya pendidikan itu dilaksanakan bukan karena paksaan, harus tulus dan ikhlas dari kemauan peserta didik tersebut. Beberapa contoh kekerasan yang ada di sekolah keinginan orang tua siswa agar anaknya sekolah di sekolah A karena terkesan elit dan favorit padahal anaknya tidak mau dan tidak berminat, atau guru dan kepala sekolah yang mengeluarkan kebijakan membuat pelajaran tambahan di sekolah plus kegiatan ekstrakulikuler yang bersifat wajib agar siswa di sekolahnya bisa lulus dengan predikat terbaik, menteri pendidikan nasional juga sama yaitu membuat kebijakan ujian secara nasional dan kelulusan di Ujian Nasional adalah harga mati tanpa melihat kearifan lokal yang ada, dan masih banyak lagi contoh kekerasan yang terjadi di sekolah (kekersan melalui kebijakan dan kekerasan pemaksaan suatu kehendak).

Menurut saya kekerasan yang terjadi sesama siswa di sekolah adalah akibat dari ”fenomena gunung es” atau puncak permsalahan kekerasan kebijakan di sekolah yang semuanya bermuara ke siswa. Jadi, sebenarnya mereka semua adalah korban bukan pelaku kekerasan.

Bagaimana Mental Kekerasan di Sekolah di Mulai?

1. Sebelum masuk sekolah biasanya siswa sudah ditanamkan seabrek peraturan sekolah yang harus ditaatinya, tidak boleh bertanya kenapa peraturan ini dibuat, siapa yang buat dan untuk siapa aja peraturan ini dibuat, siswa hanya boleh membaca peraturan dan menjalankannya misal peraturan yang mewajibkan siswa memakai dasi, dan topi lengkap saat upacara bendera hari senin, atau rambut siswa putra yang panjangnya tidak boleh lebih dari 10 cm, tidak boleh terlambat (apalagi bayar uang SPP dan buku, ini lebih lagi sangat tidak boleh terlambat)

2. Pertama sekali masuk ke sekolah, kakak-kakak yang ada di OSIS mengadakan kegiatan dengan nama masa orientasi siswa atau biasa disebut MOS. Disini kekerasan kedua terjadi, secara fisik dan verbal, anak baru tadi disuruh sesuatu yang tidak jelas maksud dan tujuannya, kadang disuruh melakukan hal-hal yang tidak lumrah, di sini mulai tertanam lagi di alam bawah sadar siswa baru tersebut bahwa hal ini sudah biasa karena selain dibiarkan oleh sekolah kegiatan ini terjadi secara turun temurun.

3. Kemudian setelah MOS selesai siswa masuk ke sekolah dan menjadi warga sekolah, saat terlambat masuk di sekolah dia harus melewati banyak pos dari mulai satpam sampai guru BK, di sini peraturan sekolah kembali dibacaan kepadanya sementara pihak-pihak yang mendakwa siswa tersebut tidak mau tau apa yang terjadi sehingga siswa itu terlambat. Di sini dia belajar bahwa alasan apapun tidak akan diterima, padahal pada minggu berikutnya giliran guru yang datang terlambat, dan guru tersebut diperbolehkan masuk ke kelas tanpa melewati pos-pos yang ada.

4. Kemudian dia masuk ke kelas, di kelas dia mendengarkan secara baik apa saja yang menjadi peraturan di internal kelas, dari mulai kebersihan yang sampai harus mengeluarkan uang sakunya karena kelasnya harus indah dengan tambahan gorden dan beberapa perangkat kelas seperti sapu, tong sampah, penghapus, taplak meja dan kalau perlu ditambah sedikit bunga pot di dalam ruangan. Di sini dia belajar malu kalau tidak ikut patungan dengan siswa sekelasnya, mungkin saja sisa uangnya saat itu tinggal untuk ongkos pulang.

5. 3 hari kemudian saat dikelasnya sedang belajar asyik dengan seorang guru, datanglah seorang guru perempuan yang sangat ramah, dia membawa banyak buku yang di ikat dengan tali rapia, bersamanya ada bapak-bapak yang berpakaian rapi sedang memegang buku tulis tebal, sepertinya masih baru buku itu karena covernya yang masih mengkilap. Ibu guru yang ternyata adalah petugas koperasi itu mengatakan bahwa untuk menunjang pembelajaran siswa dibantu dengan buku pelajaran dengan merk tertentu dan harganya sangat miring plus dengan cicilan yang sangat gampang (bisa dicicill selama 1 tahun sampai sebelum kenaikan kelas). Kemudian dia bertanya bisa tidak bu kalau belinya diluar atau memakai buku kakak kelas? Sang guru dengan pedenya menjawab silahkan saja karena buku ini baru saja terbit dan belum ada di pasaran edisinya sangat terbatas, kemudian guru yang mengajar dikelas tadi menimpali bahwa minggu depan ada PR di halaman sekian dibuku baru yang kalain terima. Terpojokkanlah si siswa tadi karena mau tidak mau harus membeli buku itu karena memang sangat perlu. Disini kekerasan kehendak, padahal siswa baru itu tahu kalau bapak ibunya tidak akan mampu membayar uang buku tersebut secara tunai, disini dia mulai setres padahal dia baru masuk ke sekolah itu dan baru mulai belajar selama 3 hari. Sekumpulan tanda tanya sudah banyak di kepalanya.

6. Masih banyak lagi kekerasan yang di lakukan senior seperti dalam ektrakulikuler tertentu yang punya adat terntu juga dan biasanya mereka menggunakan kekerasan fisik dan mental, alsananya sih agar mental anak baru tersebut kuat, aneh juga ya, seperti militer gitu deh.

7. Masih banyak kekerasan lainnya di kelas seperti guru yang mengatakan bahwa dirinya bodoh lah karena pelajaran yang di terangkannya tidak dapat langsung diserap dan masih banyak conoth lagi.

8. Akhirnya untuk menumpahkan segala kekesalannya dia membuat komunitas anak-anak setres yang semua kegiatannya untuk menghilangkan setres (tentunya menurut mereka sendiri) sampai akhirnya kekerasan antar kelompok di internal sekolah sampai dengan kekerasan antar sekolah dengan tawuran.

Solusinya?

Kekerasan tidak cocok di balas dengan kekerasan pula (malah akan memperparah), disinilah IPM berperan untuk melakukan penyadaran kepada siswa tersebut untuk kritis melihat ketidakadilan yang ada disekitarnya (melihat ketidakberesan disekitarnya) setelah disadarkan kemudian mereka dijadikan ”relawan” untuk membela teman sebayanya. Sampai akhirnya semua temannya sadar dan seluruh warga sekolah sadar dengan semua kelakuan mereka yang tidak adil dan suka melakukan kekerasan baik secara langsung maupuin tidak langsung.

IPM sudah saatnya masuk ke sekolah negeri.........

Putra Batubara,
Mantan kandidat ketua OSIS yang mengundurkan diri karena lebih memilih menjadi Ketua Rohis Ibnu Sina SMA Negeri 1 Lubukpakam
Deli Serdang, Sumatera Utara
Read More..

Selasa, 10 Maret 2009

Nikmati Indahnya Hari Tanpa Tambatan Hati

Hari-hariku lewati hanya sendiri tanpa kekasih
Tapi tetap ku nikmati indahnya hari tanpa tambatan hati

Aku ingin menjadi setitik awan kecil di langit
Bersama mentari
Walaupun ku sendiri tapi aku masih ada
Masih ada cinta di hati

Kadang aku merindukan
Merindukan sentuhan
Sentuhan wanita

Ingin ku curahkan semua
Semua hasrat di jiwa
Yang telah lama ku pendam

Hari-hariku lewati hanya sendiri tanpa kekasih
Oh oh.. Walaupun kusendiri tapi ku masih bisa bahagia


Pastilah para pembaca sudah tahu siapa pelantun lirik lagu diatas. Saat ini memang suara hati ku sedang terwakili oleh lagu ini. Aku pernah menulis dengan tema besar bahwa pasangan hidup itu bagi ku saat in adalah kebutuhan yang penting tapi "belum" mendesak. Sampai sekarang aku masih memegang kata demi kata yang sudah ku tulis itu. Tapi, seperti kata lagu diatas kadang-kadang rasanya ingin juganya aku punya dambaan hati. Rasanya asyik juga bisa berbagi, ngobrol ngalor ngidul kesana kemari atau sekedar tanya kabar, lagi apa disana, sudah makan belum, atau mungkin nanya IP nya gimana, dan kapan pendadarannya.

Dahulu sekali sekitar kelas 1 SMA (sekitar tahun 2001) Aku punya pengalaman mengejar seorang dambaan hati. Tentunya yang aku kejar ini bukan pelajar putri sembarangan. Anaknya super cerdas, pintar juga berteman dan bisa diajak ngobrol dengan tema apa saja. Kelas 1 aku gagal mendapatkanya. Naiklah aku ke kelas 2, sama juga hasilnya nihil. Tapi memang sudah mulai ada pencerahan dengan model pendekatan yang ku lakukan, massif dan progresif memang pergerakan ku he he he ...

Pernah juga aku ajak dia untuk ikut bareng kawan-kawan ku naik gunung, kalau tak salah saat itu dalam suasana akan tahun baru. Maklumlah komunitas ku itu anaknya aneh-aneh, mereka bisa jadi apa saja, organisasi oke, remaja masjid oke, event organizer oke, main musik apalagi oek banget, naik gunung juga oke, keliling jadi pemantau pemilu juga oke, ah pokoknya mantaplah kawan-kawan ku itu.

Nah, barulah dikelas selanjutnya aku diterima, tapi bukan tanpa syarat lho. Ah lucu juga aku kalau ingat masa-masa itu semua. Saat dimana aku sering membantunya mengerjakan apa yang aku bisa (selain pelajaran ya, karena dia beda jurusan dengan ku). Saat dimana aku juga masih sering curicuri waktu untuk ketemu walau Cuma sebentar di musolla sekolah saat solat dhuha (terus terang ya, orientasi ku saat itu bukan mau solat dhuha, tapi pengen ketemu dia aja, weleh weleh ..). Atau ada juga saat aku membernikan diri untuk mengantarnya pulang dengan kenderaan ayahku ( padahal izinnya kemana, perginya entah ke mana he he he) maklumlah namanya juga lagi kasmaran.

Tulisan ini hanya sepenggal kisah ku dan dia, sekedar untuk mengobati kerinduan hati tentang masa-masa lalu itu. Seperti lirik diatas yang mengatakan bahwa terkadang kita sebagai manusia biasa tak bisah juga melepaskan kodrat kita sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan. Semoga aku bisa konsisten dengan tulisan ku diawal blog ini, bahwa pasangan hidup adalah kebutuhan penting tetapi belum mendesak. Kalau aku sedang ingin merasakan suasana hati saat dimana aku masih memilki pasangan untuk berbagi dan segala macamnya, musik dan malamlah yang akan menemaniku....

Kota Pelajar, Pukul 01.33/ 11 Maret 2009
www.putralubukpakam.blogspot.com
www.putrabatubara.multiply.com

Untuk Shinnohikari.........
Read More..

Selasa, 03 Maret 2009

Melihat Masalah Masyarakat Secara Utuh

Ada percakapan disuatu sore di sudut ibu kota sebuah propinsi, “Gimanalah bang, bukannya kami tak mau meningggalkan pekerjaan kami ini, tapi besok anak istri kami mau makan apa bang? “ kemudian si penjual itu kembali memutar vcd musik yang lagunya sedang populer, dia beres-beres sedikit untuk memperindah dan menata vcd dan dvd nya agar terlihat menarik.

Ada juga pembicaraan dua orang yang berlainan jenis, di sebuah ruangan berukuran 6x4 meter yang sepertinya lampunya sengaja dibuat remang-remang. “ Mbk kenapa sih kerjanya “beginian”? apa gak takut dosa dan cemoohan masyarakat?”, kata di pria. “Yahhh, mau gimana lagi ya mas, saya sudah berusaha kesana kemari cari kerjaan tapi gak ada yang mau nerima saya yang lulusan SD ini, mana suami saya sudah entah kemana, terus anak saya mau disekolahkan pakai biayanya dari mana mas? Dan makannya kami berdua juga siapa yang mau nanggung?”

Itulah sekelumit permasalahan yang ada nyat adanya dimasyarakat kita, dan kita jugua sering berinteraksi dengan mereka, para pedagang vcd dan dvd bajakan, para wanita penjaja seks komersil, dan para penjual jam tangan bajakan, para penjual kaos dagadu palsu dan banyak kelompok sosial yang strata sosialnya jauh dibawah kelompok profesi lainnya.

Pemerintah dalam menyikapi kelompok masyarakat seperti ini sangat kaku sekali, biasanya mengedepankan pendekatan hukum saja. Bukan hanya sampai disitu, sering juga pemerintah ikut-ikutan memperparah keadaan dengan membuat perda – perda khusus yang tidak konstruktif/ membangun. Belum lagi, ditambah pemuka agama yang terkadang juga ikut mensukseskan program pemerintah ini dengan menyatakan bahwa “ini semua adalah cobaan, kita harus sabar menghadapi semua masalah ini”.

Masyarakat saat ini tidak butuh pendekatan agama yang bersifat menenangkan, masyarakat butuh aksi nyata dari para juru dakwah. Tak banyak yang mengeluh begini, “lapar kok disuruh ngaji dan solat?”. “Lapar itu dikasi makan om bukan disuruh solat”. Biasanya mereka akan berkata kami mau kerja apa saja yang penting bisa menghidupi kehidupan kami.

Pendekatan Partisipatif

Ada satu model pendekatan dalam motodologi penelitian yang pernah saya pelajari dan sekarang sedang dikembangkan oleh beberapa NGO dan kelompok social masyarakat. Namanya pendekatan partisipatif, biasa digunakan untuk mancari data dalam sebuh penelitian. Seperti observasi tapi di sini peneliti ikut terlibat dan berbaur dalam masyarakat yang akan diteliti dan objek yang diteliti juga tidak merasa diteliti. Secara sederhana peneliti ikut berbaur dengan objek penelitian tersebut.

Banyak kelompok masyarakat yang sudah mengembangkan model pendekatan partisipatifnya dalam mengatasi masalah sosial, tak mudah memang. Waktu yang digunakan tak singkat, tapi dengan pendekatan ini justru kelompok sosial yang ingin kita rubah bisa menjadi perpanjangan tangan untuk rekan-rekannya, seperti jejaring di MLM –lah. Disini justru masyarakat dilibatkan secara langsung, mereka tidak diarahkan, tapi fasilitator/ pendamping tersebut hanya bertugas menyadarkan masyarakat. Justru disini, fasilitator juga ikut belajar bagaimana masyarakat ini menyelesaikan masalahnya masing-masing (prinsipnya tak ada yang jadi guru kehidupan, semuanya sama-sama belajar).

Dan menurut saya, model pendekatan seperti inilah yang perlu dilakukan pemerintah dan pemuka agama untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada dimasyarakat luas, jangan lagi kita perlakaukan saudara kita dengan kasar dan tidak humanis. Saat ini memang sudah ada PNPM Mandiri program pemerintah, tapi realitas dimayarakat kita tidak berjalan dengan baik, dana yang ada malah digunakan untuk membangun infrastruktur (seperti pos ronda, tempat pembuangan sampah dan membangun parit) yang menurut saya sangat kurang efektif untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada.
Pemerintah dan para juru dakwah perlu belajar banyak dari kelompok masyarakat yang sudah melakukan model pendekatan ini. Dan organisasi pelajar seperti Ikatan Pelajar Muhamamdiyah sudah melakukannya sejak tahun 2000 awal, sekarang IPM sudah mengembangkan model partisipatif versi IPM, yang lain kapan?

mari belajar bersama masyarakat akar rumput
Read More..