Kamis, 29 Januari 2009

Sebagian Bukan Berati Semua

Melihat Permasalahan Secara Objektif


Terminologi sebagian tidak bisa kita general-kan menjadi semua. Saat kita masih duduk di sekolah kita pasti masih ingat pelajaran dasar bahasa indonesia dibagian logika bahasa ada istilah quantifier yang kurang lebih defenisinya adalah kata yang menunjukkan banyaknya satuan yang diikat oleh term subyeknya.

Quantifier ada kalanya menunjuk kepada permasalahan universal, seperti kata: seluruh, semua, segenap, setiap, tidak satu pun; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan partikular, seperti: sebagian, kebanyakan, beberapa, tidak semua, sebagian besar, hampir seluruh, rata-rata, [salah] seorang di antara ...; [salah] sebuah di antara ...; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan singular, tetapi untuk permasalahan singular biasa¬nya quantifier tidak dinyatakan. Apabila quantifler suatu proposisi menunjuk kepada permasalahan universal maka proposisi itu disebut proposisi universal; apabila menunjuk kepada permasalahan partikular disebut proposisi partikular, dan apabila menunjuk kepada permasaiahan singular, disebut proposisi singular.

Kalau ditarik pelajaran bahasa indonesia dasar tadi ke UU BHP, pertanyaanya ”Apakah semua yang ada di UU BHP tidak sesuai dengan semangat UUD’45? Jika tidak sesuai hanya 1-5 pasal apa kita harus meng”amputasi” semuanya? Kalau kita analogikan dengan makanan misalnya, ada ulat/ busuk di sayur kol (ini sudah sangat biasa terjadi apalagi yang tidak menggunakan pupuk pabrik), apa semua bagian kol kita musnahkan? Bisa marah ”mamak” kita kalau cara kerja kita seperti itu. Dianilis dulu bagian mana saja yang ada ulatnya, kalau sudah ketemu bagian yang akan merugikan kita sebagai konsumen, ya tinggal kita amputasi saja bagian kol yang ada ulat atau busuk tersebut. Lebih efisien dan hemat tentunya.

Nah, kalau kita menarik model logika dalam bahasa indonesia sebagai dasar kita untuk berbicara dan menjelaskan argumentasi kita kepada orang lain, kita tidak boleh men-general-kan semua yang ada, menganggap semua yang dilakukan oleh orang lain/ pemerintah itu salah, menganggap semua yang dari asing itu salah. Sebagai akademisi yang mengedepankan logika dan fakta, kita tidak boleh terjebak pada istilah ”katanya”, ”menurut berita seperti ini”, ”isunya sih seperti ini ...”.Malu kita sebagai orang akademisi yang dianggap orang lain sebagai orang yang berpendidikan, bisa -sedikit -objektif dalam melihat sebuah permasalahan tapi nyatanya justru kebanyakan dari kita sama atau bahkan lebih parah dengan orang-orang yang ”tidak seberuntung kita” untuk melanjutkan pendidikan; emosian (mutungan), melihat masalah dari satu sisi saja, berpikir tidak runut, sekedar ngobrol tanpa kasi solusi yang solutif, mencela orang lain dan terus mengeluh tanpa aksi nyata untuk meminimalkan masalah saja (tidak usahlah terlalu muluk-muluk sampai menyelasaikan masalah).

Saatnya kita sebagai ”orang-orang beruntung” yang menikmati fasilitas pendidikan (yang juga dibiayai dengan uang asli rakyat indonesia melalui pajaknya) ini berpikir runtut, menganalisis masalah secara objektif dan memberikan solusi baik secara langsung ataupun dengan memberikan contoh-conoth yang ideal yang bisa kita lakukan bersama secara sistematis dan efektif serta memiliki efek ”wow” meminjam istilah bima arya dan efendi ghazali.
Selamat mencoba kawan .............karena hidup adalah perbuatan



Lt-2, barat 0 kilometer-nya jogja,
gedung pusat ormas islam terbesar
Read More..

Rabu, 28 Januari 2009

Fatwa MUI Perjuangan

KRITIK BUAT MUI TENTANG FATWA HARAM GOLPUT

Berikut Fatwa Haram dari MUI Perjuangan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan dasar untuk kemasalahatan ummat islam dan konsekuensi dari islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamain (rahmat bagi sekalian alam) maka kami dari MUI Perjuangan memfatwakan:

1. Haram hukumnya berkhianat kepada rakyat, baik eksekutif, legislatif dan Yudikatif.
2. Haram hukumnya legislatif studi banding ke luar negeri, karena menghamburkan uang Negara, dasarnya adalah mubazir, berlebihan dan semua hal yang berlebihan itu kawannya setan, dosa, ”HARAM”
3. Haram memilih parpol baik Islam atau non-islam dan calon legislatifnya serta calon pemimpin/ presiden/ gubernur/ bupati/ walikota/ kepala desa yang rakus kekuasaan.
4. Haram memilih calon legislatif dan calon pemimpin/ presiden/ gubernur/ bupati/ walikota/ kepala desa yang gagal pada periode sebelumnya dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan bahkan berkhianat kepada bangsanya
5. Haram hukumnya memilih partai politik islam atau non-islam atau calon legslatif yang terlibat Korupsi Kolusi Nepotisme.
6. Haram hukumnya mencalonkan diri jadi calon presiden atau calon wakil presiden, jika sudah pernah memimpin dan gagal.
7. Haram jadi calon legislatif yang terindikasi KKN.
8. Haram hukumnya berkhianat kepada rakyat dan tanah air.
9. Haram hukumnya pejabat makan gaji buta, khususnya DPR, PNS dan pegawai pemerintahan lainnya yang sering mangkir kerja.
10. Haram memakai mobil dinas yang tidak ada kaitannya dengan tugas negara.
11. Wajib hukumnya bagi pemimpin atau pejabat yang KKN untuk mengembalikan uang KKN dan membayar denda kaffarah sumpahnya.
12. Dan menghimbau kepada ummat islam dan diluar islam, jika calon-calon pemimpin baik legislatif dan eksekutif dianggap tidak memenuhi kriteria diatas (bersih dari unsur KKN dan tidak amanah) maka tidak wajib memilih dalam pemilu 2009 sampai seterusnya.

Demikian Fatwa ini kami keluarkan dengan mempertimbangan manfaat dan mudharat-nya pemilu di indonesia dan sebagai kritik serta masukan kepada calon pemimpin bangsa, dan jika ada terbukti saat legislatif dan yudikatif tidak amanah dan KKN serta menyalahi tugas dan wewenanganya, MUI Perjuangan akan mengeluarkan Fatwa yang berisi rekomendasi kepada Allah SWT agar mereka yang terbukti bersalah itu dimasukkan kedalam api neraka tanpa ampun sama sekali.
Atas perhatinnya kami sampaikan terimakasih

Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh


Langit pertama, Januari 2009

MUI Perjuangan



K.H. Abdul Rahman Syahputra Batubara, c S.Sos
Ketua Dewan Tanfidziyah
Calon Kiai Langitan
Read More..

Budaya Mengeluh, Saling Menyalahkan dan Sikap Selalu Curiga

Belajar dari orang-orang optimis dan yang memberikan contoh nyata

Sebagai makhluk sosial kita memang sudah pasti tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Sejak lahir sebenarnya kita sudah mulai belajar hidup bersosial/ bermasyarakat. Mulai belajar behasa untuk alat komunikasi merupakan langkah awal yang harus kita lalui dengan tahapan-tahapannya. Sesudah dewasa juga sama itu akan terus berulang sampai kita tua nanti, artinya kita terus belajar sampai kita menjadi manusia paripurna yang bijak dalam melihat seluruh persoalan hidup.

Budaya mengeluh, menyalahkan orang lain dan saling curiga itu wajar saja, orang bijak bilang itu sah-sah saja dan itu sangat manusiawi. Orang banyak mengeluh terhadap persoalan hidup kemudian menyalahkan pihak-pihak/ stakeholder masalah dan mencurigainya pula. Masalah itu wajar adanya dan lahir memang dari interaksi antar manusia yang punya bejibun kepentingan masing-masing.

Dan sudah lumrah adanya, setiap manusia tidak pernah merasa puas, dalam sebuah organsiasi kecil berjumlah 10 orang saja, jika ada 1 kebijakan tentang membagi-bagikan sedikit ”kue” pasti ada saja orang yang tidak puas. Itu wajar saja, karena memang sifat manusiawinya tadi itu. Orang yang tidak puas tadi merasa kenapa bagiannya disamaratakan dengan yang yanglian karena dia merasa dirinya lebih banyak dan sangat aktif bekerja sementara yang lain sedikit berusaha atau bahkan tidak sama sekali. Atau mungkin ketika pembagian ”kue” itu berdasarkan keaktifan dan kesungguhan mereka bekerja itu juga akan menimbulkan kericuihan baru, kemudian curiga jangan-jangan si A sebagai pimpinan kelompok berkolusi dengan si C yang mendapat bagian yang sangat besar. Itu masih masalah bagi membagi ”kue” yang sudah jumlah anggotanya 10 orang, bagaimana kelompok manusia di tingkatan RT, RW, dusun, desa, kelurahan, kecamatan, kabuoaten/ kota, propinsi, negara dan dunia internasional?

Sekali lagi, masalah ketidak puasan hadir karena berbagai macam kepentingan yang dibawa masing-masing individu, tinggal kebijaksanaan kita sebagai manusia dan sebagai pemimpinlah yang bisa menyatukan semua kepentingan masing-masing individu tadi itu. Masalah bangsa kita juga demikian adanya. Banyak aktivis saat masa-masa aktif dikampus menjadi sangat idealis, sangat peduli dengan orang yang mereka kelompokkkan dalam kelompok orang-orang yang ter-marginalkan. Mereka sangat peduli dengan nasib wong cilik. Tapi, senior-senior mereka (sebagian) banyak yang sudah jadi pengusaha korup, pejabar pemerintahan korup, hakim dan jaksa korup, wartawan korup dan anggota legislatif korup yang semuanya dilakukan mereka-mereka itu hanya karena ”masalah perut” tadi itu.

Anggota legislatif merasa negara belum adil kalau mereka belum difasilitasi oleh negara untuk pribadinya seperti rumah, kendaraan, mesin cuci, laptop, biaya listrik, biaya komunikasi dan lainnya yang dasar mereka adalah karena anggota legislatif itu merupakan perwakilan rakyat yang sah dalam pemilu dan sah menurut undang-undang yang mengaturnya dan itu kita akui benar adanya, mahasiswa ”yang sebagian” aktifis kampus jugua merasa belum adil kalau pendidikan belum difasilitasi oleh negara secara cuma-cuma alias gratis apalagi pemerintah yang tidak membantu proposal kegiatan mereka atau anggota legislatif plus pengusaha yang belum pernah membantu kegiatan mereka ya siap-siap saja untuk dicecar karena tidak pro-rakyat (rakyat-rakyat di kampus maksudnya), orang-orang di yudikatif juga sama kembali menyalahkan negara yang membayar upah mereka dengan sangat minim sehingga mereka merasa ”goyah” ketika ada tawaran yang lebih menggiurkan. Nah, pertanyaannya saat negara sedang disalahkan oelh banyak pihak, kenapa negara tidak reaktif dengan tanggapan itu semua yang semuanya mengatasnamakan rakyat?

Ada yang cepat dan ada pula yang lambat, tergantung urgen dan tidaknya sebuah kebijakan itu. Mungkin anggota legislatif disumpal dulu mulutnya dengan bejibun fasilitas karena memang secara resmi merekalah yang mewakili rakyat menurut undang-undang, untuk mahasiswa lebih gampang lagi dengan memberikan sumbangan untuk setiap proposal yang mereka ajukan plus pimpinan mereka dijadikan ”staf ahli” resmi milik negara, dah sudah pasti mereka tak akan teriak lagi dengan terus mengatasnamakan rakyat. Lingkaran sumpal menyumla ini terus menjadi lingkaran setan. Pertanyaanya kemudian uang untuk kasi fasilitas legislatif, eksekutif, yudikatif dan proposal mahasiswa itu dari mana? Kas negara juga kan? Mahasiswa melalui pergerakannya semakin banyak mengadakan ”agenda mendesak bangsa” dengan terus rapat akbar (yang namanya munas-lah, kongres-lah, muktamarlah dan itu belum lagi pelatihan setingkat nasional, seminra nasional dan program nasional) dengan biaya yang sangat besar dan sumber dana utamanya adalah kas negara, terus rakyat yang akan diberi pendidikan gratis gimana dong? Kan uangnya dah dibagi-bagikan kepada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan rakyat tadi, terus rakyat-nya gimana kalau sudah begini?

Di bagian eksekutif sebagai pelaksana undang-undang juga sama, di internal mereka juga ada budaya sikut sana dan sikut sini, mereka berprilaku demikian karena ”masalah perut” juga. Di dunia kampus juga antar dosen dan pejabat kampus juga sama berebut ”posisi nyaman” difakultas dan universitas, antar mahasiswa yang satu golongan tadi juga sama saling sikut karen kalau bisa jadi pimpinan kelompok akses ke atas jadi lebih gampang dan mungkin saja jadi ”staf ahli” jadi lebih cepat, dan akhirnya sampai di rakyat juga sama, gara-gara perut perang antara GAM dan TNI di Aceh, gara-gara perut pecah perang di Ambon yang mengatsnamakan perang agama, gara=gara perut Presiden pertama RI juga turun padahal negara yangdibela para kaum aktivis juga tak lebih hampir sama dengan soeharto seperti Venezuela dan Kuba yang presidennya nyaris seumur hidup, gara-gara perut juga sebagian kerajaan di nusantara membela penjajah (Raja Bone, Aru Palaka melawan Sultan Hasanuddin Makassar misalnya) dan masih gara-gara perut NU dan Muhammadiyah juga saling klaim di kampus negeri islam. Dan intinya semua masalah itu berawal dari ”sumber periuk” mereka atau ”sumber dapur” mereka yang diganggu orang lain atau merasa diganggu oleh orang lain, 10 orang saja ribut apalagi sebuah negara. Kesimpulannya masalah terjadi karena bersinggungannya berbagai kepentingan di dalam interaksi manusia yang jumlahnya sudah bejibun dengan latar belakang budaya, bahasa, agama dan sifat individunya.

Belajar dari orang-orang yang tak mengeluh
dan memberikan solusi nyata dalam dunia pendidikan


Kita pasti masih ingat sekolah qoryah toyyibah di Salatiga, Jawa Tengah yang memberikan model sekolah alternatif untuk dicontoh oleh anak bangsa lainnya. Kalau kita banyak membaca dan mau mencari informasi ternyata model sekolah seperti qoryah toyyibah ini juga sudah banyak bahkan sebelum sekolah ini ada. Sekolah Muhammadiyah pedesaan atau daerah kota tapi belum semaju kota=kota besar lainnya, justru masih banyak sekolah Muhammadiyah yang persis dengan model sekolah qoryah toyyibah bahkan bisa dikatakan lebih bagus, kita bisa liat di Bantul Yogyakarta dan kota Kendari Sulawesi Tenggara.

Saya masih sangat yakin masih banyak sekolah-sekolah tangguh yang lahir dari budaya saling tolong menolong antar masyarakatanya. Didaerah jakarta juga ada sekolah alternatif yang dikelola oleh 2 orang ibu kembar istri TNI yang sampai saat ini mereka memiliki ratusan sekolah alternatif dan gratis tadi, biayanya mereka dapat dari kantong sendiri dan menariknya mereka tak meminta bantuan dengan proposal tapi orang-orang yang berduit yang tergerak hatinyalah yang datang menyumbang ke sekolah itu, sekali lagi bukan karena proposal permohonan bantuan, ini saya baca di majalah Lion Air saat terbang pulang ke Medan, Sumatera Utara. Dan masih banyak lagi, kita bisa ambil hikmah dari budaya bangsa kita dalam kerjasama dan saling tolong menolong dengan menonton setiap episode Kick Andy, kita juga bisa mencari data di fasilitas mesin pencari google tentang siapa dan dimana saja sekolah alternatif yang sudah didirikan oleh swadaya masyarakat asli.

Dan kita sebagai anak bangsa masih harus terus membaca dan belajar mamahami kehidupan agar tidak menjadi orang-orang yang mengeluh, saling menyalahkan, pengecut dan curiga kepada orang lain.



Putra Batubara
Saat semua orang mengeluh....dan curiga
Saya lebih memilih optimis, kerjasama dan sama-sama bekerja
Read More..

UUD 1945 sebagai guide UU yang ada

Kita tahu bahwa UUD 1945 sebagai bahan baku awal untuk membuat legalnya sebuah Negara, ini pelajaran dasar mata pelajaran tata negara saat kita sekolah SMA kelas 3 IPS tentang apa saja unsur untuk mendirikan negara baik secara de facto maupun de jure, nah undang-undang dasar termasuk hal yang mendasar dalam membentuk sembuah negara. Dan unsur lain yang harus ada sebelum mendirikan sebuah Negara adalah rakyat dan wilayahnya (land-nya-tanah) plus pengakuan dari negara lain.

Oke kita akan membahas tentang UUD 1945, banyak para aktivis yang menggunakan dasar UUD 1945 sebagai cermin untuk melihat apakah sebuah undang-undang turunannya telah sesuai dengan semangat UUD 1945 yang ada. Nah, UUD 1945 itu hampir sama dengan kitab suci dalam sebuah agama, perlu penjelasan lagi karena kalau tidak ada penjelasannya bisa menimbulkan banyak tafsiran atau asal tafsir saja. Semangat UUD 1945 ada di pembukaan UUD itu sendiri dan intinya ada di pancasila sebagai dasar/ inti/ substansi sebuah Negara. Nah dari pembukaan UUD dan pancasila-lah kita bisa menjelaskan maksud dari UUD tersebut dengan menghubungkan kondisi real masyarakat baik dari sisi budaya, pendidikan, ekonomi dan variabel lain yang dapat mempengaruhi arah/ tujuan/ semangat didirikannya sebuah Negara.

Saat ini UUD 1945 milik bangsa Indonesia sudah ada kalimat pejelasnya bahkan kalau dulu saat SD saya masih hafal butir-butir pancasila yang itu juga sebagai penjelas dari pancasila (bisa di akses di goolge..). Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu direvisi atau mungkin lebih baik undang-undang yang dibawahnya seperti UU sistem pendidikan nasional-lah (dalam hal pendidikan) yang perlu direvisi agar kesakralan UUD 1945 kita tidak hilang.

Karena masalah amandemen UUD 1945 ini juga terjadi pro dan kontra nya di masyarakat terutama para elit bangsa, ada yang mengatakan tidak boleh karena itu adalah guide untuk Indonesia dan merupakan aset bangsa kita, sehingga kalaupun mau dirubah maka harus dibagian penjelasnya dan undang-undang turunnya, plus produk hukum yang bisa mengikutinya seperti peraturan pemerintah, perpu, kepres, perda dan lainnya.

Jadi seharusnya UUD 1945 memang tidak di amandemen, kalaupun sudah diamandemen diusahakan agar jangan terlalu sering, kalau diamandemen terus bisa tak punya asset lagi bangsa ini, masak setiap ganti pimpinan bangsa maka UUD 1945 harus diubah lagi? Semoga saja pemimpin berikutnya lebih bijak melihat ini semua….




Putra Batubara
Almuni Ikatan Remaja Muhammadiyah
Ranting Lubuk Pakam Pekan, Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara
Read More..

Senin, 26 Januari 2009

Transformasi Komunikasi Dunia

“Saya baru mengenal si dia beberapa bulan yang lalu. Kata kenal juga sebenarnya tak pantas untuk dikatakan, karena sampai detik ini saya dan dia belum pernah bertatap muka langsung, hanya lewat foto. Unik juga perkenal dengan bantuan mesin “ym” ini. Beberapa teman saya malah dapat pasangan hidup melalui ym-an ini. Hmmm menarik juga ya, mungkin saya juga bisa dapat jodoh melalui media ini , he he he ....

Saya mengenal si dia dari FS teman, awalnya sih iseng-iseng saja. Setelah tuker-tukeran alamat email kita lanjut ke tuker-tukeran alamat ym biar lebih asyik ngobrol-nya. Akhirnya setelah dapat alamat ym-nya saya dan dia janjian untuk ngobrol via ym. Lumayan juga waktu yang kita pilih, sekitar jam 22.00 sampai 24.00 WIB. Karena penasaran ingin mengenal lebih jauh akhirnya saya sudah online lebih awal sekitar jam 20.00 WIB, sampai akhirnya dalam waktu yang cukup lama kami sudah tuker-tukeran nomor handphone, ketemuan di negaranya (Kuala Lumpur, Malaysia) dan happy ending dengan menikah.......... saat ini saya sudah dikaruniai oleh Tuhan (sementara) 2 orang anak yang lucu-lucu dan cerdas-cerdas .....”

Potongan cerita diatas sebenarnya banyak terjadi dewasa ini, saat ini pergeseran komunikasi luar biasa, ntah kita sebut mengalami kemajuan atau tidak yang jelas saat ini dengan hanya duduk di depan komputer yang tentunya sudah terkoneksikan dengan jaringan internet kita bisa say hello, bercakap-cakap, diskusi sampai mengumpat dan menghina dengan banyak orang di seluruh Indonesia. Dan kalau kita bisa sedikit menguasai bahasa inggris kita juga bisa bangun komunikasi dengan orang diluar Indonesia.

Mungkin kalau orang yang “awam” teknologi akan melihat bahwa kawan-kawan kita yang sering online ini tak punya kerjaan, aneh dan tak bisa bersosialisasi dengan orang lain. Justru, mereka itu punya teman-teman sendiri di dunia maya, mereka juga bisa mendapatkan uang masuk dari hobi baru mereka itu. Banyak fasilitas di dunia maya yang bisa dijadikan sebagai sumber keuangan pribadi, bisa dengan jualan online atau ikut jejaring iklan lainnya. Belum lagi bisnis hitam seperti mencuri uang orang via internet, merusak website orang lain atau bisa juga menyebar virus baru agar mereka bisa menjual anti virusnya dengan mudah seperti penjual kacang goreng.

Hampir sama dengan dunia nyata, dunia maya juga ada pengamannya, ada undang-undang yang membatasi kebebasan mereka, ada pimpinannya dan mereka juga memiliki organisasi baik lokal, nasional sampai internasional. Jadi, bisa disimpulkan bahwa saat ini manusia telah mengalami transformasi komunikasi dari komunikasi tradisional ke komunikasi modern. Memang masih banyak kelemahannya, tapi minimal yang selama ini kita yang tidak bisa berkomunikasi dengan orang diluar kota, atau negeri kita karena tak punya jaringan di sana, saat ini kita sudah bisa dengan bebas mau kemana dan kepada siapa kita berkomunikasi. Bahkan seperti penggalan tulisan diatas kita juga bisa mencari pasangan hidup melalui jaringan komunikasi modern ini, banyak yang sudah membuktikannya. Apakah saya salahsatunya? Kita liat saja nanti 3-4 tahun lagi .......


Putra Batubara
Mahasiswa komunikasi
Read More..

Kota kecil bernama Lubuk Pakam

Catatan awal tahun untuk Pemda Deli Serdang

“Apa kata dunia? …..”
Siapa sih yang tak kenal dengan kalimat itu, adalah Dedi Mizwar dalam film Naga Bonar yang sempat kontrofersi di zamannya karena menggunakan nama tokoh Bujang sebagai salahsatu “teman” si naga bonar. Kita tidak membahas pro-kontra film tersebut di sumatera utara, tapi yang saya ambil adalah nama kota yang dijadikan latarbelakang alam film tersebut. Kenapa harus kota lubuk pakam, kok tidak medan saja yang sudah terkenal atau mungkin kota sibolga saja yang punya keindahan alam yang luar biasa.

Mungkin Dedi Mizwar punya gagasan kalau kota ini diangkat, penonton akan menanyakan seperti apakah kota lubuk pakam itu? Sehingga orang-orang yang ada di lubuk pakam minimal menyiapkan diri untuk keterkenalan mereka. Kejadian ini hamper sama seperti novel Laskar Pelangi yang telah mengangkat kota kecil di daerah Bangka Belitung. Pemerintah lokalnya menutup diri dari potensi ini semua, termasuk lubuk pakam.
Saya sudah 4 tahun lebih tidak berada di kota kelahiran saya itu, perkembangannya? Hampir tidak ada pembangunan yang “luar biasa” Pemda hanya menutup selokan yang zaman orba juga memang ditutup, saat reformasi di buka lagi kemudian ditutup lagi saat mendekati pilkada, mungkin biar Pemda Deli Serdang tampak bekerja dan membangun seperti slogan incumben yang ikut nyalon kembali. Ada juga perbedaan jalur kendaraan di kota lubuk pakam yang satu arah ke arah POLRES Deli Serdang yang menurut saya juga gak terlalu berpengaruh untuk kota sekecil lubuk pakam. Gedung sekolah juga begitu, malah ada beberapa sekolah yang mati dan “akan mati” karena kekurangan siswa. Angkutan umumnya juga demikian, mobilisasi orang lubuk pakam seolah-olah berkurang ke kota medan karena jumlah pilihan angkot yang saat saya tinggalkan masih ada 5 pilihan angkot ke medan tapi saat ini tinggal 3 angkot saja. Orang yang bekerja di medan memilih lebih baik pindah dan berdomisili di medan dari pada harus menghabiskan biaya yang besar untuk transportasi, ini mengindikasikan bahwa di lubuk pakam lapangan kerja tidak tersedia dengan jumlah masyaralat dan anak lulusan SMA/ STM/ MA juga bertambah besar. Semuanya berbondong-bondong pindah ke medan, apakah untuk kerja atau melanjutkan studinya.

Yang lebih menarik lagi saat PILKADA Deli Serdang, yang menang juga bukan para calon bupati, tapi yang menang adalah golongan putih (yang kata MUI kemarin haram), mungkin saja rakyat Deli Serdang merasa aspirasi mereka tidak terwakilkan dari calon bupati yang lebih dari 7 pasang calon itu. Akhirnya pilkada itu dimenangkan oleh incumben. Selamat deh buat pak Amri Tambunan, semoga gak korupsi aja.
Sebenarnya saya masih punya impian tentang kota kecil ini. Lubuk Pakam bisa sebagai pusat industri, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Jangan tunggu Bandara kuala namu baru kita mulai berbenah, malu dong kita dengan kabupaten pecahan kita serdang bedagai yang pembangunannya luar biasa apik dan merata. Masak kita kalah start dengan kabupaten sebelah, ini semakin memperkuat analisis kita bahwa Pemda Deli Serdang memang mandul dalam pembangunan dan tidak puny aide segar untuk memakmurkan ya minimal ibu kota kabupatennya sajalah, kota lubuk pakam.
Kota Lubuk pakam berada di tengah kecamatan seperti Beringin, Pagar Merbau, Galang, Gunung Meriah, Bangu Purba, STM hulu dan STM Hilir dan ada lagi pantai labu yang lebih dekat mengakses ke kota lubuk pakam daripada ke kota Medan, ya kita tidak usah hitung kecamatan seperti Pancur batu, sibolangit, tanjung morawa dan batang kuis dll yang lebih dekat ke kota Medan daripada ke pakam.

Dengan potensi kecamatan-kecamatan di sekitar pakam ini, justru ibu kota Kabupaten Deli Serdang bisa dijadikan sebagai pusat pendidikan, kesehatan dan ekonomi sementara Pantai Labu sebagai pusat industri dan kota Galang juga bisa dijadikan sebagai pusat ekonomi karena memang wilayah kecamatan di sekitarnya juga cukup luas. Akhirnya pembangunan akan menjadi merata, rakyat Deli Serdang makmur karena banyak tempat untuk bekerja ditambah lagi anak-anak muda Deli Serdang bisa cerdas dengan bertebarannya kampus-kampus yang sesuai dengan kondisi lokal Deli Serdang dan perpustakaan daerah yang aktif disetiap kecamatan dengan bajibun buku-buku anyar yang berkualitas, plus akses internet gratis di setiap perpusatakaan kecamatan tadi. Ini wacana yang bisa dimulai pembangunannya oleh Pemda Deli Serdang saat ini, tapi mungkin masih jauh panggang daripada api-nya.
Read More..

Jumat, 23 Januari 2009

Budaya Base on Data

Budaya Base on Data


Budaya organisasi saat ini mulai bergeser ke arah yang positif. Kalau sebuah event organizer (EO) biasanya akan mengadakan survei kecil-kecilan dulu kalau mau ngadaian event, mula-mula mereka akan menentukan segmen event dan event apa , jika acaranya musik kira-kira mereka akan menanyakan jenis musik dan siapa nama grup musik yang paling favorit, dan ditambah lagi dengan pertanyaan apakah mereka akan hadir jika EO tersebut jadi mengundang grup musik favorit mereka tadi itu. Nah, dari data ini, EO bisa meminimal resiko. Kalaupun meleset gak jauh-jauh amatlah.

Budaya buat event dengan dasar data di lapangan ini sebenarnya sudah lama ”dikerjakan” oleh kelompok akademik. Tapi, tetap saja budaya ini belum membumi. Saat Amerika heboh dengan model polling-nya sejak puluhan tahun yang lalu, Indonesia baru meyakini benar kehebatan polling pada pemilu 2004. Lembaga survei periode awal di Indonesia yang independen mulai menorehkan tinta emas di berbagai media massa, walaupun ada yang tidak independen -bedasarkan pesanan- itu hal yang lumrah, tapi media tetap bisa memilah dan memilih lembaga survei mana yang mereka anggap objektif dan memiliki kredibilitas dan metode yang sesuai dengan kondisi lokal Indonesia.

Di jogja misalnya, budaya meneliti masalah sosial ini sudah sangat lama -mungkin karena banyak kampus sebagai konsekuensi kota pelajar-. Adalah Iip Wijayanto seorang peneliti masalah sosial, pernah meneliti dan mempublikasikan penelitiannya tersebut, bahwa lebih dari 90% mahasiswi Jogja tidak perawan lagi. Dari data ini dia mengulas bahwa budaya ”free sex” sudah merambah sampai ke kota budaya dan tepelajar ini. Walau sempat heboh, pemerintah Jogja juga mengklarifikasi dan berusaha mencegahnya dengan banyak cara, salah satunya dengan mewajibkan induk semang -bapak/ibu kos- dan kos putra/ putri dipisah. Hasilnya lumayan, wacana dari Iip Wijayanto sudah tidak atau sangat jarang diangkat lagi. Ini juga karena kerjasama dan kerja keras ormas, OKP dan masyarakat Jogja.

Begitu juga dengan ormas –organisasi masyarakat- dan OKP –organsasi kepemudaan-, jika ingin visi, misi dan programnya tepat sasaran, mereka juga harus mulai menggunakan budaya penelitian. Penelitian ini bisa memberikan data real tentang sukses dan tidaknya sebuah program kerja, penelitian juga sebagai kontrol apakah program kerja kita sesuai dengan sasaran dan tujuan awal yang berkorelasi dengan visi misi organsiasi kita. Dengan penelitian, biaya, tenaga dan waktu bisa sangat efektif. Dengan budaya ini kita sangat bisa dan percaya diri mempublikasikan program-program kita yang sudah tepat sasaran dan mampu menyelesaikan masalah sosial yang ada.

Selamat mencoba meneliti ....
hari gini ngomong gak pakai base on data malu ah .......

oleh Abdul Rahman Syahputra Batubara
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah ranting Lubuk Pakam Pekan
Kabupaten Deli Serdang
Read More..

Pasangan hidup itu …..

Pasangan hidup itu …..
kebutuhan yang penting tapi belum mendesak
Sibolga in love?hmmm


Kita sudah ditakdirkan untuk tidak bisa hidup sendiri. Tuhan sudah mentasbihkan bahwa laki-laki memiliki pasangan dengan lawan jenisnya yang biasa disebut perempuan. Kita pastilah manusia sosial yang masih butuh interaksi dengan siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Komunitas/ kelompok kita tidak bisa menghindari pertemuan antara 2 kelompok yang berlainan jenis ini. Kalaupun ada, itu hanya sebatas formalitas seperti kelompok agama tertentu atau institusi pendidikan tertentu.

Judul diatas bukan untuk orang lain, itu adalah statement yang keluar dari hati kecil saya. Saya banyak berinteraksi dengan banyak orang termasuk tentunya yang berlainan jenis. Tertarik? Sudah pasti dong … saya pernah membaca sebuah tulisan kalau laki-laki itu lemah di mata dan perempuan itu lemah di telinga. Dan saya juga pernah membaca tulisan tentang jenjang kebutuhan sesorang dengan membagi menjadi 4 kategori yakni penting-mendesak, penting-tidak mendesak, tidak penting-mendesak, tidak penting-tidak mendesak.

Kalau falsafah jawa mengatakan bahwa cinta itu datang karena kebiasaaan, itu juga sering terjadi dalam proses interaksi kita. Seperti yang saya tuliskan diatas, saya juga merasakannya, saya tertarik kepada “mereka-mereka” tapi sekali laghi hati kecil saya selalu berkata untuk jangan terlalu cepat untuk menyatakannya karena itu adalah kebutuhan yang sangat penting tapi …belum terlalu mendesak. Susah juga ya……pusing deh

Tapi memang kalau setiap ada event saya agak gimana gitu, karena saya takut menemukan “hal-hal yang demikian itu”. Padahal saya bukan tipe orang yang anti pacaran atau mengaharamkannya, gak tau ya kenapa.... saya juga bingung nih….
Read More..