Kamis, 29 Januari 2009

Sebagian Bukan Berati Semua

Melihat Permasalahan Secara Objektif


Terminologi sebagian tidak bisa kita general-kan menjadi semua. Saat kita masih duduk di sekolah kita pasti masih ingat pelajaran dasar bahasa indonesia dibagian logika bahasa ada istilah quantifier yang kurang lebih defenisinya adalah kata yang menunjukkan banyaknya satuan yang diikat oleh term subyeknya.

Quantifier ada kalanya menunjuk kepada permasalahan universal, seperti kata: seluruh, semua, segenap, setiap, tidak satu pun; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan partikular, seperti: sebagian, kebanyakan, beberapa, tidak semua, sebagian besar, hampir seluruh, rata-rata, [salah] seorang di antara ...; [salah] sebuah di antara ...; ada kalanya menunjuk kepada permasalahan singular, tetapi untuk permasalahan singular biasa¬nya quantifier tidak dinyatakan. Apabila quantifler suatu proposisi menunjuk kepada permasalahan universal maka proposisi itu disebut proposisi universal; apabila menunjuk kepada permasalahan partikular disebut proposisi partikular, dan apabila menunjuk kepada permasaiahan singular, disebut proposisi singular.

Kalau ditarik pelajaran bahasa indonesia dasar tadi ke UU BHP, pertanyaanya ”Apakah semua yang ada di UU BHP tidak sesuai dengan semangat UUD’45? Jika tidak sesuai hanya 1-5 pasal apa kita harus meng”amputasi” semuanya? Kalau kita analogikan dengan makanan misalnya, ada ulat/ busuk di sayur kol (ini sudah sangat biasa terjadi apalagi yang tidak menggunakan pupuk pabrik), apa semua bagian kol kita musnahkan? Bisa marah ”mamak” kita kalau cara kerja kita seperti itu. Dianilis dulu bagian mana saja yang ada ulatnya, kalau sudah ketemu bagian yang akan merugikan kita sebagai konsumen, ya tinggal kita amputasi saja bagian kol yang ada ulat atau busuk tersebut. Lebih efisien dan hemat tentunya.

Nah, kalau kita menarik model logika dalam bahasa indonesia sebagai dasar kita untuk berbicara dan menjelaskan argumentasi kita kepada orang lain, kita tidak boleh men-general-kan semua yang ada, menganggap semua yang dilakukan oleh orang lain/ pemerintah itu salah, menganggap semua yang dari asing itu salah. Sebagai akademisi yang mengedepankan logika dan fakta, kita tidak boleh terjebak pada istilah ”katanya”, ”menurut berita seperti ini”, ”isunya sih seperti ini ...”.Malu kita sebagai orang akademisi yang dianggap orang lain sebagai orang yang berpendidikan, bisa -sedikit -objektif dalam melihat sebuah permasalahan tapi nyatanya justru kebanyakan dari kita sama atau bahkan lebih parah dengan orang-orang yang ”tidak seberuntung kita” untuk melanjutkan pendidikan; emosian (mutungan), melihat masalah dari satu sisi saja, berpikir tidak runut, sekedar ngobrol tanpa kasi solusi yang solutif, mencela orang lain dan terus mengeluh tanpa aksi nyata untuk meminimalkan masalah saja (tidak usahlah terlalu muluk-muluk sampai menyelasaikan masalah).

Saatnya kita sebagai ”orang-orang beruntung” yang menikmati fasilitas pendidikan (yang juga dibiayai dengan uang asli rakyat indonesia melalui pajaknya) ini berpikir runtut, menganalisis masalah secara objektif dan memberikan solusi baik secara langsung ataupun dengan memberikan contoh-conoth yang ideal yang bisa kita lakukan bersama secara sistematis dan efektif serta memiliki efek ”wow” meminjam istilah bima arya dan efendi ghazali.
Selamat mencoba kawan .............karena hidup adalah perbuatan



Lt-2, barat 0 kilometer-nya jogja,
gedung pusat ormas islam terbesar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar